Mencintai Ahlul Bait, Sahabat & Para Pewarisnya


  • Kemulian dan menghargai sahabat Nabi

Secara etimologis, kata sahabat adalah bentuk plural dari kata shahib yang berarti teman atau kawan. Ia berasal dari kata kerja shahiba. Dalam al-Mu’jam al-Wasîth disebutkan, “Shâhibahu bermakna râfaqahu (menemaninya/mendampinginya). Istashhaba syai’an artinya lâzamahu (senantiasa menyertainya atau memintanya agar berkenan menjadi sahabatnya). AshShâhib bermakna almurâfiq (teman/pendamping), pemilik, atau yang bertugas mengawasi sesuatu. Dipakai juga untuk orang yang menganut sebuah madzhab atau pendapat tertentu.

Sedangkan انصَّحَابي (ashShahâbi) ialah siapa yang pernah bertemu Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam, beriman kepadanya dan meninggal dalam keadaan muslim. Bentuk pluralnya adalah shahabah.

Sedangkan  secara  terminologis,  Ibn  Taimiyyah  rahimahullah mengatakan, ” انصُّحِجَخ (ash-shuhbah) ialah istilah yang digunakan untuk orang-orang yang menyertai Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam dalam jangka waktu yang lama maupun singkat. Akan tetapi, kedudukan setiap sahabat ditentukan oleh jangka waktu ia menyertai Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam . Ada yang menyertai beliau setahun, sebulan, sehari, sesaat, atau melihat beliau sekilas lalu beriman. Derajat masing-masing ditentukan sesuai jangka waktunya dalam menyertai Rasulullah . Hal ini sebagaimana perkataan Imam Ahmad rahimahullah, “Siapa saja yang menyertai Rasulullah setahun, sebulan, sehari, atau sesaat, atau melihat beliau, maka ia termasuk sahabat Nabi. Derajat masing-masing dari mereka sesuai dengan kadar lamanya menyertai Rasulullah.

Memuliakann Nabi menjadi bukti utama manusia telah beriman atas kenabian dan kerasulannya, dan juga telah mengamalkan salah satu rukun iman kedua yaitu iman kepada Nabi dan Rasul. Rasulallah adalah inspirator dalam mengajarkan hakekat kehidupan, dakwah dan implementasi wahyu kepada seluruh umat di dunia. Iapun  banyak mengajarkan keteladan kepada sahabat-sahabatnya dan generasi penerusnya. Sikap Rasulallah adalah cerminan Al-Quran yang berjalan (Al-Quran moving dan Al-Quran Living), dan kemulian yang tidak berhenti sepanjang masa.

Sahabat Rasulullah Saw merupakan generasi termulia yang lahir kedunia ini sebagai penerus risalah dan menjadi suri teladan serta pejuang Islam yang tak tertandingi sampai hari Kiamat nanti. Status kedudukan nya berada pada posisi paling tertinggi. Mereka mempunyai banyak keutamaan, kesempurnaan dan kepedulian dalam memperbaiki kehidupan generasi setelahnya.

Keteladanan sahabat Nabi apabila digunakan dalam pendidikan, itu merupakan suatu hal yang penting dalam menentukan hasil yang maksimal. Apabila seorang pendidik memberikan contoh positif dan menjauhkan dari perbuatan yang bertentangan dengan agama, maka dalam diri seorang pelajar akan terbentuk pribadi yang jujur, berakhlak, dan senantiasa menjauhkan diri dalam perbuatan munkar. Dengan kata lain, segala tindak tanduk guru tersebut akan menjadi contoh dalam sikap dan perilaku seorang pelajar.

Kalau pada masa sahabat keteladanan merupakan salah satu kunci mereka berhasil dalam menyampaikan syair Islam kepada umat Islam. Maka sudah seharusnya kita perlu menerapkan sikap keteladanan, terlebih lagi bagi seorang pendidik. Seorang pendidik perlu berusaha dalam setiap aktivitas kehidupan apapun yang di makan, pakai, tinggali, dan sebagainya sudah termasuk menunjukkan nilai-nilai keteladanan dalam segi keagamaan.

Perjuangan Para Sahabat Nabi bisa di realisasikan dalam bentuk sikap menghargai dan memuliakannya, sehingga dapat kita gambarkan dengan beberapa poin seperti dibawah ini yaitu sebagai berikut:

a. Mencintai Sahabat Nabi Saw

Salah satu prinsip seorang muslim, ialah mencintai karena Allah, mencintai orang yang cinta kepada Allah dan Rasul-Nya; sehingga menjadikan para sahabat Nabi Saw sebagai orang yang paling utama mendapatkan kecintaan ini. Nabi Saw bersabda :

أَوثَقُ عُرَى الإِيمَانِ المُوَالَاةُ فِي اللهِ وَالمُعَادَاةُ فِي اللهِ والحُبُّ فِي اللهِ وَالبُغضُ فِي الله

Sekuat-kuat tali keimanan adalah berloyalitas dan memusuhi karena Allah serta cinta dan benci karena Allah (HR Thabrani).

b. Memuji Para Sahabat Radhiyallahu anhum.

Sikap solidaritas dan perjuangan Para sahabat begitu tinggi dalam memperjuangkan dan mensyiarkan Islam. Menyerukan risalah dakwah merupakan pondasi utama yang paling kokoh dalam mengembangkan Islam sampai penghujung dunia, sehingga Allah SWT dan Rasulallah sendiripun begitu mencintainya. Kegigihan yang ditunjukan semasa hidupnya telah membuktikan hakikat keimanannya kepada Allah Swt dan Rasulnya, Sebagaimana hadist Rasulallah Saw;

Kemudian Rasulullah ﷺ juga bersabda dalam hadits riwayat At-Tirmidzi disebutkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, “takutlah kalian kepada Allah mengenai sahabat-sahabatku, janganlah kalian menjadikan mereka sebagai sasaran caci maki setelah aku tiada nanti, maka siapa saja yang mencintai para sahabatku berarti ia telah mencintaiku dan siapa saja yang membenci para sahabatku, maka berarti ia telah membenciku. (HR. Tirmidzi)

Dan ada hadist lain Rasulullah ﷺ yang diriwayatkan oleh al-bukhari dan Muslim beliau bersabda “janganlah kalian mencaci-maki para sahabatku. Janganlah kalian menghina para sahabatku, demi Allah, demi rabb yang menguasai nyawaku, andaikata seorang dari kalian mampu bersedekah dengan emas sebesar gunung Uhud Maka itu tidak akan bisa mencapai satu mud pun atau bahkan setengah mud-pun yang dibelanjakan oleh seorang dari mereka para sahabat radhiallahuanhum”. (HR. Bukhari Muslim)

Maka faidah dibalik pujian Allah SWT kepada para sahabat karena ; (1) iman mereka yang sangat kuat dibandingkan dengan yang lainnya dan karena (2) kedekatan bersama Rasulullah Saw yang dididik langsung oleh Rasulullah sebagai pilar sumber utama keilmuan Islam setelah Rasulullah Saw. Maka wajar jika mereka lebih paham tentang Islam dibandingkan dengan zaman setelah mereka. Tetapi meski demikian, ada saja sebagian kelompok yang berusaha menodai agama Allah yang suci ini dengan merusak kehormatan para sahabat nabi Radhiyallahu anhum, seperti yang dilakukan oleh kelompok sesat misalnya dan terdapat alasan utama dibalik hujatan Syiah yang dilontarkan kepada para sahabat nabi yaitu agar kaum muslimin tidak percaya dengan para sahabat nabi. Dengan ketidak percayaan kaum muslimin kepada para sahabat nabi, maka terputuslah ajaran wahyu kepada umat Islam, akan terputus ajaran wahyu Allah SWT kepada kaum muslimin. Padahal sahabat Nabilah, sahabat Rasulullahlah yang membawakan kepada kita ucapan, perbuatan dan juga ketetapan hadis-hadis Rasulullah ﷺ

c. Mendoakan dan Memintakan Ampun Untuk Para Sahabat Radhiyallahu anhum

d. Tidak Mencela Seorang pun Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, sehingga satu dengan lainnya tidak boleh saling mencela tanpa hak. Seorang muslim memiliki kehormatan yang tidak boleh dinodai. Jika penghormatan ini berlaku untuk semua kaum muslimin, maka yang lebih utama lagi ditujukan kepada para pejuang Islam, para pembawa bendera sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , para penebar dakwah tauhid yang telah banyak mendapat sanjungan dari Allah dan Rasul-Nya. Mereka ialah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya n telah memuji mereka,

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

المُسلِمُ أَخُو المُسلِمِ لاَ يَظلِمُهُ وَلَا يَخذُلُهُ وَلَا يَحقِرُهُ التَقوَى هَاهُنَا – وَ يُشِيرُ إِلَى صَدرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ – بِحَسبِ امرِىءٍ مِنَ الشَّرِّ أَن يَحقِرَ أَخَاهُ المُسلِمَ كُلُّ المُسلِمِ عَلَى المُسلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَ مَالُهُ وَ عِرضُهُ

Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya; ia tidak boleh menzhalimi atau menghinakan atau mencelanya. Ketakwaan ada di sini –seraya beliau menunjuk ke arah dada. Cukuplah kejelekan seorang muslim itu dengan dia mencela saudaranya. Setiap muslim terhadap muslim yang lain diharamkan darahnya, harta, serta kehormatannya. [HR Muslim]

e. Wajib Mengikuti Para Sahabat Radhiyallahu anhum.

  • Menghargai dan Menghormati Ahlul Bait (Keluarga Nabi Saw)

Bukan akhlak terpuji jika tidak mengakui keluarga Nabi Muhammad Saw. yang membantu, menolong, dan melindunginya dari bahaya kaum Quraisy dan para tokoh tokohnya. Bahkan, setiap Muslim harus memiliki niat yang tulus, yaitu mencintai, memuliakan dan menghormati keluarga Nabi Muhammad Saw. Hakikat ini Al-Quran telah mengisyaratkan kepada umat Islam tentang pentingnya mengasihi, menghormati, dan berbuat baik kepada mereka. Allah Swt. berfirman, Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, ahlul bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya (QS Al-Ahzáb: 33). Maksudnya, Allah Swt, akan membersihkan dari berbagai perbuatan dosa. Yang dimaksud ablul bait adalah Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib.

Imam Al-Alusi mengatakan, kewajiban mencintai sanak keluarga Rasulullah Saw. perlu dilihat dari aspek hubungan kedekatan mereka dengan beliau. Jika semakin dekat, tuntutan mencintainya semakin kuat. Karena itu, mencintai keluarga Fatimiyah harus lebih kuat dibandingkan mencintai keluarga Abbasiyah, berdasarkan generalitas kata al-qurba (kekerabatan). Bagaimanapun, Al-Alusi tidak akan menyimpang dari apa yang diyakini tokoh-tokoh ahlussunnah dari kalangan sahabat Nabi bahwa hal tersebut merupakan bagian dari agama Baginya, mencintai kerabat Nabi hukumnya sangat jelas, yaitu wajib. Sebab, Allah Swt. juga telah mewajibkannya. Banyak keterangan-keterangan lain yang menjelaskan hal tersebut.

Kewajiban mencintai keluarga Nabi dipertegas hadis riwayat Imam Muslim dari Zaid bin Arqam tentang khutbah Rasulullah Saw. di mata air yang bernama Khum (antara Makkah dan Madinah).

Beliau bersabda, “Amma ba’du. Wahai manusia, aku hanyalah manusia, tidak lama lagi utusan Tubanku akan datang kepadaku, dan aku akan menjawab panggilan-Nya. Kutinggalkan pada kalian dua pusaka yang berat. Pertama, Al-Quran yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Ambillah Al-Quran dan berpeganglab kepadanya. Beliau mendorong orang-orang agar berpegang kepada Al-Quran. Kemudian beliau bersabda, “Dan keluargaku. Kuingatkan kalian pada Allah tentang keluargaku. Kuingatkan kalian pada Allah tentang keluargaku.” Hushain bin Sabrah bertanya, “Siapa yang dimaksud keluarganya, wahai Zaid (Zaid bin Arqam)? Bukankah istri-istri beliau termasuk keluarga beliau?” Zaid menjawab, “Memang, istri-istri beliau termasuk keluarga beliau. Akan tetapi, keluarga beliau adalah orang orang yang dilarang menerima zakat sesudahnya.” Hushain bertanya, “Siapakah mereka?” Zaid menjawab, “Keluarga Ali, keluarga Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga Abbas.” Hushain bertanya, “Mereka semua tidak boleh menerima zakat?” Zaid menjawab, “Ya.” Sementara dalam riwayat lain: “Ingatlah, sesungguhnya aku meninggalkan kalian dua pusaka; pertama, kitab Allah dan tali Allah. Siapa saja yang mengikutinya maka ia berada dalam kebenaran. Dan siapa saja yang meninggalkannya maka ia berada dalam kesesatan.”

  • Ulama adalah Pewaris Para Nabi dan Rasul

Imam Hasan al-Bashri mengutip dalam kitab tafsir Al-Maraghi, ia  menjelaskan bahwa Ulama adalah orang yang takut kepada Allah, menyukai apa yang diridhoinya dan menghindari apa yang dimurkainya. Ibnu Abbas menjelaskan bahwa eksistensi Ulama adalah orang yang tidak mempersekutukan Allah SWT dengan sesuatu apa pun, yang menghalalkan apa yang telah dihalalkan dan mengharamkan apa yang telah diharamkan-Nya, menjaga perintah-perintah-Nya, dan yakin bahwa ia akan bertemu dengan-Nya yang akan menghisab dan membalas semua amalan manusia.

Hakikat keberadaan Ulama di tengah kehidupan menjadi generasi perubahan dalam mengembangkan butiran dakwah dan inovator pembentukan karakter manusia yang bertujuan ialah mampu merubah kehidupan manusia lebih baik, patuh terhadap perintah dan larangan dalam mengenal Tuhan. Istilah lainnya Ulama bisa dikatagorikan sebagai penerus estafet perjuangan Nabi membangun manusia yang lebih beradab dan berkarakter Islamiy. Ia adalah pemangku tugas nabi. Semua tugas Nabi, ia yang mewarisinya.

“Sesungguhnya Ulama adalah pewaris para Nabi. Sungguh para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu. Barang siapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. Tirmidzi no. 2681; HR. Ahmad (5/169); HR. Ad-Darimi (1/98); HR. Abu Dawud no. 3641).

Asy-Syaikh Shalih Fauzan mengatakan: “Kita wajib memuliakan Ulama muslimin karena mereka adalah pewaris para nabi, maka meremehkan mereka termasuk meremehkan kedudukan dan warisan yang mereka ambil dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta meremehkan ilmu yang mereka bawa. Barangsiapa terjatuh dalam perbuatan ini tentu mereka akan lebih meremehkan kaum muslimin. Ulama adalah orang yang wajib kita hormati karena kedudukan mereka di tengah-tengah umat dan tugas yang mereka emban untuk kemaslahatan Islam dan muslimin. Kalau mereka tidak mempercayai ulama, lalu kepada siapa mereka percaya. Kalau kepercayaan telah menghilang dari ulama, lalu kepada siapa kaum muslimin mengembalikan semua problem hidup mereka dan untuk menjelaskan hukum-hukum syariat, maka di saat itulah akan terjadi kebimbangan dan terjadinya huru-hara.”

إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعاً يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِباَدِ، وَلَكِنْ بِقَبْضِ الْعُلَماَءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عاَلِماً اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْساً جُهَّالاً فَسُأِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi Dia mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama sehingga jika Allah tidak menyisakan seorang alim pun, maka orang-orang mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Kemudian mereka ditanya, mereka pun berfatwa tanpa dasar ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Al-Bukhari no. 100 dan Muslim no. 2673)

Sebagai bentuk penghormatan dan kemulian Para Ulama di tengah kehidupan manusia, maka perlu memahami kewajiban-kewajiban yang perlu direalisisakan dalam kehidupan manusia , antara lain:

1. Beradab, menghormati, dan memuliakan Ulama

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menjelaskan, Adab baik seseorang adalah tanda kebahagiaan dan kesuksesannya. Adab buruknya adalah tanda kesengsaraan dan kebinasaannya. Adab yang baik adalah sangat efektif untuk mendatangkan kebaikan dunia akhirat. Adab yang buruk adalah sangat efektif untuk menghalangi dari kebaikan dunia akhirat.”

Menghormati Ulama termasuk pengagungan kepada Allah SWT, bahkan menurut Imam Nawawi bahwa menghormati Ulama lebih utama dari pada kepada orang tua karena Ulama adalah para pewaris Nabi. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

Sesungguhnya termasuk pengagungan kepada Allah subhanahu wata’ala, yaitu memuliakan orang tua yang muslim, orang yang hafal al–Quran (ulama) tanpa berlebih-lebihan atau berlonggar-longgar di dalamnya dan memuliakan penguasa yang adil.” (Abu Dawud, no. 4843 dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib, 1/44

2. Mewariskan sikap menghormati ulama kepada para generasi umat Islam.

Warisan yang paling baik untuk generasi penerus manusia adalah berupa kebaikan, dan di antara kebaikan itu adalah menanamkan sikap hormat dan ta’zhim kepada para Ulama pewaris Nabi. Mereka adalah orang-orang yang telah Allah SWT tinggikan derajatnya baik di dunia dan akhirat. Allah berfirman:

“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu, ‘Berlapang-lapanglah dalam majlis,’ maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, ‘Berdirilah kamu,’ maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadilah: 11).

Mengutif dari Al-Jami’ Li Akhlaqi Rawi, Al-Khatib, 1/17, Ibrahim bin Syahid berkata, “Bapakku pernah menasehati diriku dengan berkata, ‘Wahai Ibrahim, datanglah kepada para ulama ahli ilmu, belajarlah dari mereka, ambil adab, akhlak, dan petunjuk mereka, karena sesungguhnya yang demikian itu lebih aku sukai dari pada banyak meriwayatkan hadits.’”

3. Menimba ilmu langsung dari para ulama, bukan melalui buku atau tulisan

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menjelaskan, mempelajari ilmu lewat jalur bertemu langsung dengan Ulama akan lebih memudahkan dalam memperoleh ilmu (dan pemahaman) dari pada belajar lewat metode kitab saja. Karena       mereka yang memperoleh ilmu melalui metode kitab akan lebih susah dan membutuhkan upaya sungguh-sungguh agar bisa paham. Padahal ada beberapa hal seperti kaidah-kaidah syar’i dan batasan yang telah ditetapkan oleh para ulama yang butuh penjelasan lanjut, dan harus dipelajari dengan merujuk dan bertanya langsung pada para ulama sebisa mungkin. Menjaga dan membela kehormatan Ulama.

Jika keberadaan para Nabi adalah karunia yang sangat berharga, maka keberadaan para Ulama pun di tengah-tengah masyarakat merupakan karunia yang tak ternilai harganya. Dengan kedudukan ulama pewaris nabi yang begitu vital dan terhormat, maka membelanya dan menjaga kehormatannya menjadi sebuah keniscayaan. Karena membela kehormatan ulama sama dengan membela agama itu sendiri.

Syaikh Utsaimin pernah berkata, “Mengghibah Ulama memberikan mudarat kepada Islam seluruhnya.Karena umat tidak akan percaya lagi kepada ulama lalu mereka akan meninggalkan fatwa para ulama dan lepaslah mereka dari agama.”Mereka merendahkan ulama pewaris nabi dan mencampakkan fatwa serta pandangan para ulama. Allah memberikan ancaman kepada mereka dengan firman- Nya,

  • Contoh dalam Kisah kisah Sahabat Nabi Saling Menghormati Meski Beda Pendapat

Zaid bin Tsabit an-Najjari al-Anshari dan Abdullah bin Abbas merupakan sahabat Nabi Muhammad SAW yang meninggalkan banyak teladan bagi umat Islam masa kini. Selain kecerdasan, keduanya mengajarkan pentingnya saling menghormati meski terlibat silang pendapat. Zaid bin Tsabit dikenal sebagai penulis wahyu dan surat-surat Nabi. Sedangkan Ibnu Abbas memiliki pengetahuan luas. Banyak hadis sahih yang diriwayatkan melaluinya. Ia juga sepupu Rasulullah.

Suatu hari, Ibnu Abbas silang pendapat dengan Zaid bin Tsabit mengenai warisan. Ibnu Abbas berpendapat bahwa kakek menjadi penghalang waris bagi mayat, sebab kakek senilai dengan bapak. Sebaliknya, Zaid bin Tsabit menyatakan bahwa kakek tak jadi penghalang.

“Apakah Zaid tidak takut dengan Allah?” kata Ibnu Abbas dalam sebuah majelis.

“Dia dijadikan cucu lelaki semisal anak lelaki tetapi kakek tak dianggapnya semisal bapak? Demi Allah, aku ingin sekali bertemu dengan mereka yang berbeda pendapat denganku dalam perkara waris ini lalu kami sama-sama meletakkan tangan pada sebuah tiang dan bermubahalah, agar laknat Allah ditimpakan pada dia yang berdusta!” sambungnya.

Meski persoalan warisan masih menjadi perdebatan, Ibnu Abbas dan Zaid bin Tsabit terlihat rukun. Seperti yang terjadi selepas jenazah ibunda Zaid bin Tsabit disalatkan. Saat itu, pria keturunan Bani Khazraj itu pulang dengan menunggangi bagal.

Tiba-tiba Ibnu Abbas menghampiri Zaid bin Tsabit lalu memegang tali kendali tunggangannya. Ibnu Abbas hendak menuntunnya sebagai bentuk penghormatan. Zaid bin Tsabit yang merasa sungkan diperlakukan demikian oleh Ibnu Abbas pun bertutur sopan,

“Lepaskanlah, wahai anak paman Rasulullah!”

“Beginilah kami memperlakukan ulama,” jawab Ibnu Abbas.

Mendengar jawaban tersebut, Zaid bin Tsabit langsung mencium tangan Ibnu Abbas. Ia merasa perlu melakukannya sebagai bentuk penghormatan kepada keluarga Nabi Muhammad.

“Beginilah kami diperintah dalam memperlakukan keluarga Nabi,” katanya.

Ibnu Abbas juga memperlihatkan kesedihannya saat Zaid bin Tsabit wafat. Sambil berdiri di sebelah makam Zaid bin Tsabit, ia berujar, “Demikianlah apabila ilmu pergi.”

 

Semoga Bermanfaat

📒: Menebar kebaikan menuju keberkahan bersama Al-Kautsar 561