Fathonah


  • Fathanah

Sifat Fathanah merupakan sifat wajib bagi Rasul, yaitu cerdas dan pintar, dan mustahil bagi mereka mempunyai sifat Baladah, yang berarti bodoh. Sedangkan dalil wajibnya sifat ini adalah, seandainya para rasul itu adalah orang-orang bodoh, maka mereka tidak akan mampu untuk memangun argumentasi dalam menghadapi kelompok-kelompok yang menentang risalah yang dibawanya.

Sebab, ketidakmampuan para rasul untuk membangun argumentasi ketika berhadapan dengan penentang risalahnya bertentangan dengan dengan pangkat dan martabat mereka sebagai utusan. Oleh karena itu, wajib bagi para rasul untuk memiliki sifat yang keempat ini, untuk meyakinkan mereka agar bisa menerima risalahnya,

وَهَذَا يُخَالِفُ مَنْصَبَهُمْ الَّذِي أُرْسِلُوْا بِهِ وَهُوَ هِدَايَةُ الْخَلْقِ اِلَى الْحَقِّ، فَوَجَبَ بِذَلِكَ لَهُمْ الفَطَانَةُ، وَاسْتَحَالَ عَلَيْهِمْ ضِدُّهَا

Artinya, “Dan ini (ketidak mampuan rasul untuk membantah argumentasi penentangnya) bertentangan dengan pangkat mereka yang telah diutus untuk memberikan jalan hidayah kepada makhluk untuk menuju al-haq (Allah). Oleh karena itu, wajib bagi para rasul untuk memiliki sifat Fathanah, dan muhal bagi mereka memiliki sifat perlawananya (Baladah).” (Sayyid Husain, 51).

 

  • Pengertian Kecerdasan dan Sumber Kecerdasan

Kecerdasan didefinisikan bermacam-macam. Para ahli, termasuk para psikolog, tidak sepakat dalam mendefinisikan apa itu kecerdasan. Bukan saja karena definisi kecerdasan itu berkembang, sejalan dengan perkembangan ilmiah menyangkut studi kecerdasan dan sains-sains yang berkaitan dengan otak manusia, seperti neurologi, neurobiologi atau neurosains dan penekanannya. Tetapi juga karena penekanan definisi kecerdasan tersebut, sudah barang tentu akan sangat bergantung, pertama, pada pandangan dunia filsafat manusia, dan filsafat ilmu yang mendasarinya. Kedua, bergantung pada teori kecerdasan itu sendiri. Sebagai contoh, teori kecerdasan IQ sudah barangtentu akan

berbeda dengan teori Emosioal Intelligence (IQ) dan Spiritual Quotient (SQ) dalam mendefinisikan kecerdasan. Namun demikian, semakin tak terbantahkan bahwa teori IQ semakin tergugat dan dipandang memiliki seperangkat kelemahan, baik dalam arti ilmiah maupun metodologis.

Walaupun para ahli tidak sepakat dalam mendefinisikan apa itu kecerdasan. Bahkan menurut Morgan sebagaimana dikutip oleh Agus Efendi, kecerdasan itu sulit didefinisikan. Menurut Howard Gordner definisi kecerdasan, adalah kemampuan untuk memecahkan atau menciptakan sesuatu yang bernilai bagi budaya tertentu. Sedangkan menurut Alfred binet dan Theodore Simon, kecerdasan terdiri dari tiga komponen :

  1. kemampuan mengarahkan pikiran dan atau tindakan,
  2. kemampuan mengubah arah tindakan jika tindakan tersebut telah dilakukan, =
  3. kemampuan mengkritik diri sendiri.

Definisi kecerdasan lain adalah definisi kecerdasan dari Piaget, Menurut William H. Calvin, dalam bukunya How Brain Thinks (Bagaimana otak berfikir?), Piaget mengatakan, “Intelligence is what you use when you don’t know what to do” (Kecerdasan adalah apa yang kita gunakan pada saat kita tidak tahu apa yang harus dilakukan).” Sehingga menurut Calvin, seseorang itu dikatakan smart jika ia terampil dalam menemukan jawaban yang benar untuk masalah pilihan hidup. Sedang menurut Sternberg, 65 tahun setelah simposium Journal Psikologi Pertama, 24 orang ahli diminta untuk mengajukan definisi kecerdasan, mereka mengaitkan kecerdasan tersebut dengan tema belajar dari pengalaman dan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan. Lebih dari para ahli sebelumnya, mereka menekankan pengertian kecerdasan pada peranan metakognisi- pemahaman orang dan kontrol atas proses berpikir mereka (seperti selama melakukan pemecahan masalah, penalaran, dan pembuatan keputusan) dan lebih menekankan pada peranan budaya. Seseorang yang dipandang cerdas dalam sebuah budaya boleh jadi dipandang bodoh dalam budaya yang lain. Begitulan, banyanya definisi kecerdasan, sesuai dengan banyaknya jenis-jenis kecerdasan itu sendiri.

Dalam literatur Islam ada beberapa kata yang apabila ditinjau dari pengertian etimologi memiliki makna yang sama atau dekat dengan kecerdasan, antara lain :

 

Al-fathanah atau al-fithnah, yang artinya cerdas, juga memiliki makna sama dengan al-fahm (paham) lawan dari al-ghabawah (bodoh).

Adz-dzaka’  yang berarti hiddah al-fuad wa sur’ah al-fithnah (tajamnya pemahaman hati dan cepat paham). Ibn Hilal al-Askari membedakan antara al-fithnah dan adz-dzaka’, bahwa adz-dzaka’  adalah tamam al-fithnah (kecedasan yang sempurna).

Al-hadzaqah ,  di dalam kamus Lisan al-‘Arab, al-hadzaqah diberi ma’na al-Maharah fi kull ‘amal (mahir dalam segala pekerjaan).

An-Nubl dan an-Najabah, menurut Ibn Mandzur an-Nubl artinya sama dengan adz-dzaka’ dan an-najabah ya’ni cerdas.

An-Najabah, berarti cerdas.

Al-Kayyis, memiliki ma’na sama dengan al-‘aqil (cerdas).Rasulullah saw. Mendefinisikan kecerdasan dengan menggunakan kata al-kayyis, sebagaimana dalam hadits berikut :

عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ.

وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْ Dalam literatur Islam ada beberapa kata yang apabila ditinjau dari pengertian etimologi memiliki makna yang sama atau dekat dengan kecerdasan, antara lain :

  1. Al-fathanah atau al-fithnah, yang artinya cerdas, juga memiliki makna sama dengan al-fahm (paham) lawan dari al-ghabawah (bodoh)
  2. Adz-dzaka’  yang berarti hiddah al-fuad wa sur’ah al-fithnah (tajamnya pemahaman hati dan cepat paham). Ibn Hilal al-Askari membedakan antara al-fithnah dan adz-dzaka’, bahwa adz-dzaka’  adalah tamam al-fithnah (kecedasan yang sempurna).
  3. Al-hadzaqah ,  di dalam kamus Lisan al-‘Arab, al-hadzaqah diberi ma’na al-Maharah fi kull ‘amal (mahir dalam segala pekerjaan).
  4. An-Nubl dan an-Najabah, menurut Ibn Mandzur an-Nubl artinya sama dengan adz-dzaka’ dan an-najabah ya’ni cerdas.
  5. An-Najabah, berarti cerdas.

 

Al-Kayyis, memiliki ma’na sama dengan al-‘aqil (cerdas).Rasulullah saw. Mendefinisikan kecerdasan dengan menggunakan kata al-kayyis, sebagaimana dalam hadits berikut :

 

عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ

وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ   (رواه الترمذي)

    “Dari Syaddad Ibn Aus, darr Rasulullah saw. Bersabda : orang yang cerdas adalah orang yang merendahkan dirinya dan beramal untuk persiapan sesudah mati (H.R. At-Tirmidzi)”.

Al-Quran memberikan isyarat bahwa ada 3 sumber Kecerdasa, yaitu; 1. Keimanan atau keyakinan, apa yang diyakininya akan menjadi inspirasi dan motivasi seseorang untuk membentuk kecerdasan atau kemampuan bepikir. 2. Ilmu, Dengan membaca ayat-ayat al-Qur’an dan ayat-ayat kauniyah, yang terhampar di jagad raya, maka manusia akan memilki pikiran dan kecerdasan. 3. Sejarah, yaitu pengalaman pribadinya pada masa lalu, juga peristiwa- peristiwa dan sejarah umat terdahulu. Oleh karena itu, Al-Qur’an sangat banyak mengingatkan kepada manusia agar memilki kemampuan mengambil pelajaran sejarah umat terdahulu, sehingga sepertiga isi al-Quran adalah berupa al-Qashash (cerita-cerita), juga mendorong kamampuan manusia melihat masa lalunya sendiri untuk dijadikan pelajaran buat masa depan, sebagaimana pada Surat al-Hasyr : 18

   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memerhatikan apa yang telah diperbuatnyauntuk hari esok (akhirat). dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”(Q.S. Al-Hasyr/59 : 18).

 

  • Hakikat Kecerdasan Dalam Islam

Umumnya manusia beranggapan bahwa kecerdasan itu berkorelasi kuat dengan kemampuan daya cipta dalam hal sains dan teknologi. Tetapi, lupa mengaitkan secara erat dengan pengamalan agama sehingga kehidupan dunia yang sejatinya sarana malah berubah menjadi tujuan.

Rasulullah bersabda, “Orang cerdas adalah yang mau mengoreksi dirinya dan berbuat untuk (kehidupan) setelah kematian.” (HR Tirmidzi).

Memaknai hadis ini, Ibn Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa yang dimaksud orang cerdas adalah orang yang senantiasa menghitung-hitung amal perbuatannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Umar bin Khattab.

“Hisablah (buatlah perhitungan untuk) diri kalian sendiri sebelum kalian dihisab dan timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang. Dan, bersiaplah untuk menghadapi hari yang besar, yakni hari diperlihatkannya amal seseorang sementara semua amal kalian tidak tersembunyi dari-Nya.”

Dengan demikian, kecerdasan bukan sebatas akumulasi ilmu, kemampuan berkarya cipta, dan mengembangkan usaha semata. Tetapi, lebih pada apakah diri ini telah benar-benar meyakini hari pembalasan atau tidak sehingga segenap effort yang dilakukan tidak lain adalah demi tegaknya agama.

Salah satu sebab mengapa kebanyakan manusia ingkar kepada Allah Ta’ala adalah karena lemahnya iman terhadap hari pembalasan. Dalam konteks ini, mereka benar-benar tidak cerdas, seperti yang Allah jelaskan di dalam Alquran.

“Mereka bertanya, ‘Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang yang telah hancur luluh?’ Katakanlah, ‘Yang dapat menghidupkan tulang-belulang yang telah hancur luluh itu adalah Dzat yang telah menciptakannya pada awal kejadian.” (QS Yasin [36] 78-79).

Ayat tersebut memberikan penegasan bahwa dengan segenap kemampuan akal dan indranya, manusia tidak akan pernah bisa menjangkau bagaimana Allah “bekerja.” Tetapi, sebagai makhluk yang dipilih untuk mendapatkan hidayah-Nya dan diberikan kemampuan berpikir, maka sangat jelas bahwa Allah mampu melakukan apa pun yang dikehendaki-Nya, sekalipun di luar nalar manusia. Namun, dengan ilmu semua bisa diyakini.

Oleh karena itu, ilmu yang merupakan bukti kecerdasan seseorang dalam Islam berkaitan sangat kuat dengan keimanan (QS 3:18) dan tidak akan hadir rasa khasyah (takut) kepada Allah melainkan orang-orang yang berilmu (QS 39: 9).

Dengan kata lain, kecerdasan dalam Islam adalah keimanan dan amal saleh. Rasulullah bersabda, “Allah tidak memberi seseorang anugerah yang lebih utama selain pemahaman (ilmu) tentang agama (Islam). Dan, seseorang yang berilmu lebih sulit diperdaya oleh setan daripada seribu ahli ibadah yang tidak memiliki ilmu. Setiap sesuatu memiliki tiang dan tiang agama itu adalah ilmu agama.” (HR Thabrani).

Ikrimah berkata, “Ilmu agama sungguh sangat berharga bagi manusia. Jika engkau sematkan ilmu agama itu kepada diri seseorang, niscaya ia akan membawanya kepada kebaikan; dengan tidak menyia-nyiakan fungsi hidup di alam dunia ini.” Jadi, orang yang cerdas adalah yang menegakkan agama demi maslahat dunia-akhirat.

 

 

Semoga Bermanfaat

📒: Menebra kebaikan menuju keberkahan bersama Al-Kautsar 561