Menurut tradisi orang-orang Jahiliyah, para pembesar yang memiliki hamba dibenarkan memperjualbelikan kehormatan hambahamba mereka, sekalipun hamba-hamba itu benci melakukan perbuatan keji itu. Kisah ini menjelaskan betapa Islam mengatasi tradisi Jahiliyah yang penuh dengan dosa dan kemungkaran serta tidak berprikemanusiaan. Abdullah bin Ubai bin Salul kepala orang-orang Munafik di Al-Madinah berusaha menentang Allah swt dan Rasulullah saw dalam segala perkara. Masalah yang paling nyata sekali ialah menuduh Ummul Mukminin Aisyah melakukan perbuatan keji. Masalah pembersihan dan pembebasan Aisyah ra. masih belum selesai, tetapi Abdullah bin Ubai telah menimbulkan masalah baru, di mana dia memaksa sebagian hamba-hamba yang perempuan melakukan zina. Hal ini sangat mengherankan apabila orang yang dianggap mulia di kalangan kaumnya sanggup melakukan dosa dan kemungkaran.
Masikhah hamba Abdullah bin Ubai bin Salul kurang bernasib baik apabila dia dihalalkan oleh majikannya kepada semua yang dating, dan upahnya diberikan kepada Abdullah bin Ubai. Masikhah dipaksa oleh Abdullah bin Ubai melakukan zina untuk mendapatkan uang. Melalui perbuatan keji ini muncul pertarungan antara kebenaran dan kebatilan yang dianggap sebagai peperangan antara musuh-musuh Islam dengan kaum Muslimin di Al-Madinah, baik dari pihak Yahudi mahupun dari pihak Munafik. Sebagaimana telah dketahui bahwa sebelum kedatangan Rasulullah di Al-Madinah, penduduk Al-Madinah telah siap mengangkat Abdullah bin Ubai sebagai Raja di Yatsrib (Al-Madinah). Sebagian mereka telah membuat mahkota yang akan dipakaikan kepada Abdullah bin Ubai. Sebab itulah hati laki-laki itu penuh dengan kedengkian dan kebencian terhadap Islam dan orang-orang Islam.
Setiap kali orang orang Islam memperoleh kemenangan, kemarahan Abdullah bin Ubai semakin membara. Pada peperangan Uhud, Abdullah berhasil mempengaruhi sepertiga tentera Islam untuk kembali ke Al-Madinah. Abdullah tidak mau ikut serta dalam perang Uhud yang menyebabkan Rasulullah saw marah sehingga Baginda masuk ke rumahnya untuk memakai senjata perang, lalu Baginda keluar mengajak manusia untuk memerangi orang-orang Musyrik. Ketika Abdullah gagal menjadi raja di al-Madinah, dia berusaha mencari cara dan kesempatan untuk membendung kejayaan Islam di al-Madinah, maka dia berusaha menyebarluaskan perbuatan keji di kalangan orang-orang Mukmin. Dia menjadikan pelacuran sebagai senjata untuk merusak masyarakat muslim yang mulai berkembang di Al-Madinah. Maka dia memperluas pusat-pusat pelacuran dan meletakkan hamba-hamba yang cantik dari kalangan orang-orang Yahudi di pusat-pusat itu. Kemudian dia menaikkan bendera merah di depannya supaya mudah diketahui orang. Melalui pusat-pusat ini Abdullah dapat mempengaruhi remaja Muslim supaya mereka terjauh dari kesucian dan kemuliaan.
Masikhah adalah salah seorang hamba yang dipaksa Abdullah bin Ubai untuk melakukan perbuatan keji itu, sedangkan dia dan seorang sahabatnya bernama Ma’azah tidak menyetujui paksaan laki-laki munafik itu. Kedatangan Islam di al-Madinah dan kejayaannya telah dapat menghapuskan pusat-pusat syaitan yang telah lama wujud di AlMadinah, karena Islam mengajak manusia supaya memuliakan dan menghormati wanita, dan mengajak manusia supaya berlaku adil terhadap wanita dengan memberi hak mereka. Ketika Masikhah duduk-duduk dan sahabatnya Ma’azah mendengar dan bertanya tentang agama baru yang dibawa laki-laki suci lagi mulia yang datang dari Makkah, Abdullah bin Ubai mem-peringatkan mereka supaya menjauhkan diri daripadanya, dan melarang mereka bergaul dengan wanita-wanita yang suaminya menganut agama Muhammad saw. Abdullah bin Ubai belum berpuas hati dengan larangan itu, bahkan dia berjanji akan memberikan hadiah yang besar kepada orang yang berhasil mempengaruhi salah seorang remaja Islam dan menjerumuskannya ke jurang kejahatan.
Masikhah merasa heran melihat tingkah laku laki-laki itu. Mengapa dia sangat dengki kepada Islam dan orang-orang Islam? Berarti ada sesuatu yang tersembunyi. Sejak itu Masikhah mulai keluar secara bersembunyi-sembunyi untuk mendekati wanita-wanita Anshar dengan harapan dia akan mengetahui rahasia pelarangan Abdullah bin Ubai. Kemudian dia berhasil menemui para wanita yang dapat membuka hatinya untuk memeluk Agama Islam. Melalui wanita Anshar, Masikhah banyak mendengar: 1). Tentang akhlak Rasulullah saw dan akhlak para sahabatnya 2). Tentang kedudukan dan hak wanita dalam Islam, lalu dia membandingkannya dengan kedudukannya menurut pandangan laki-laki kafir, karena dalam hatinya masih tersimpan penganiayaan dan penghambaan mereka terhadap dirinya, seolah-olah dia barang perniagaan yang tidak berharga. 3). Tentang hukuman yang dikenakan ke atas orang yang berzina baik laki-laki maupun perempuan. Selain itu. 4). Tentang keberanian kaum laki-laki dan kesucian wanita dalam Islam. 5). Tentang ajaran Islam yang menganjurkan kesucian melalui pernikahan.
Ketika mendengar keindahan ajaran Islam, masihkah meneteskan air mata dan dia berhasrat untuk meninggalkan semua kejahatan dan keburukannya serta dia percaya kepada apa yang didengarnya tentang keampunan Allah swt. Keindahan syariat Islam membuat Masikhah sadar bahwa air mata yang keluar dari kedua kelopak matanya merupakan tanda permulaan menuju kebaikan. Pada suatu hari, Masikhah mendengar ayat al-Qur’an al-karim yang menenteramkan hatinya, sedang pada ketika itu Masikhah tidak tahu bahwa dalam al-Qur’an al-Karim terdapat hukum yang menyelesaikan segala masalah. Allah swt berfirman:
“Katakanlah: Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri. Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah swt. Sesungguhnya Allah swt mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(QS.az-Zumar:53)
Dalam hati Masikhah timbul pertanyaan yang ingin disampaikannya kepada salah seorang dari wanita-wanita Islam yang didatanginya secara sembunyi-sembunyi. Pertanyaan itu adalah; “Apa itu Islam?”Kemudian dia diberitahu bahwa Islam ialah bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah swt dan bahwa Muhammad itu pesuruh Allah swt, mendirikan shalat, memberikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan naik haji ke Baitullah bagi orang yang berkemampuan. Masikhah juga banyak mendengar hal-hal yang dapat menghapuskan dosa. Di antaranya sabda Rasulullah saw:
“Sesungguhnya Allah swt membuka tangan-Nya pada malam hari untuk mengampuni orang yang berbuat dosa pada siang hari, dan membuka tangan-Nya pada siang hari untuk mengampuni orang yang berbuat dosa pada malam hari sehingga mata hari terbit dari barat (hari kiamat)” (HR Muslim ,No.2759)
Masikhah berfikir, sampai ke tahap inikah kemaafan dalam Islam? Kalau begitu, adakah Ibnu Salul menjauhkan diri dari Islam karena mengejar kekayaan duniawi sekalipun harta itu diperoleh dengan cara yang haram dan bertentangan dengan prikemanusiaan? Kemuliaan dan kedudukan apakah yang diinginkan oleh Ibnu Salul yang munafik sehingga dia berusaha menyebarluaskan kejahatan di tengah-tengah masyarakat Muslim yang mulia lagi suci? Masikhah menyembunyikan suatu rahasia dalam hatinya, di mana dia tidak akan melakukannya sampai akhir hayatnya yaitu menjauhkan diri dari perbuatan keji (zina) sekalipun dia terpaksa mengorbankan nyawanya sendiri.
Kemudian Masikhah kembali ke rumah Ibnu Salul dengan penuh keyakinan bahwa tidak ada di dunia ini orang yang dapat memaksanya melakukan perbuatan keji. Masikhah berkata kepada sahabatnya Ma’azah:“Sesungguhnya perkara yang kita lakukan selama ini tidak baik. Sekarang sudah tiba saatnya kita meninggalkannya.” Kemudian dia menambahkan: “Aku akan meninggalkan perkara keji itu dan aku tidak perduli azab apapun yang akan ditimpakan Ibnu Salul ke atasku”. Ma’azah berkata: pendapatku sama denganmuu, karena sesungguhnya aku mendengar bahwa Islam menghapuskan penghambaan dan bahwa sahabat-sahabat Nabi Muhammad akan menikah dengan penghuni rumah yang dinaikkan bendera merah di depannya. Sebab itu, Allah swt menurunkan ayat yang melarang orang-orang Islam dari menikahi penzina atau musyrikah:
“Laki-laki yang berzina tidak akan menikah melainkan dengan perempuan yang berzina atau perempuan musyrik”. (QS.an-Nur:3)
Masikhah pula berkata: “Memang benar wahai saudariku. Aku mendengar ayat ini turun karena seorang perempuan yang bernama Ummu Mahdun yang terlibat dalam perzinaan bermaksud untuk menikah dengan seorang laki-laki Muslim. Dan ganjaran pernikahannya dengan laki-laki itu ialah dia akan bertanggungjawab atas nafkahnya. Laki-laki Muslim itu pergi meminta izin kepada Rasulullah, maka Malaikat Jibril turun menyampaikan firman Allah swt:
“Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh lakilaki yang berzina”. (Qs.an-Nur:3)
Kemudian Ma’azah berkata: “Alangkah celakanya kita, meskipun kita melakukan perbuatan keji itu dipaksa oleh majikan namun kita tetap tercela.” Masikhah dan sahabatnya kembali ke kamar. Menurut biasaannya, Abdullah bin Ubai mendatangi tempat perniagaannya untuk menghitung penghasilannya. Ternyata dia dapati pendapatannya berkurang dari sebelumnya. Mak untuk mempastikan apa yang menyebabkan perkara itu bisa terjadi, dia bertanya kepada para pelanggan dan petugas perniagaan itu. Mereka menjawab dengan jawaban yang pasti: “Engkau pun tahu apa sebabnya” Dalam keadaan heran Ibnu Salul bertanya: “Apa sebabnya?” Mereka menjawab: “Sebabnya ialah Muhammad, karena para laki-laki yang beriman kepadanya tidak mau mendekati perbuatan keji dan mungkar dan tidak suka melakukan suatu perkara yang tidak dihalalkan oleh Allah swt Ta’ala, serta tidak mau melakukan sesuatu yang menyebabkan Allah swt, Rasul-Nya dan orang-orang mulia marah terhadap mereka”.
Mendengar pernyataan itu, Abdullah berteriak seraya berkata: “Memang Muhammad telah mencabut hakku sebagai raja. Telah hampir dipakaikan kepadaku mahkota kerajaan di al-Madinah, tetapi karena Muhammad aku mengalami kegagalan, dan karena Muhammad orang-orang yang di sekelilingnya menjauhkan diri dari hamba-hambaku. Sebab mereka berpegang teguh kepada ajaran agama mereka. Mengapa laki-laki itu (Muhammad) tidak meninggalkan Al-Madinah agar peluang aku menjadi raja yang kaya menjadi kenyataan?” Ketika rombongan kabilah yang jauh datang mencari tempat pelacuran yang disediakan oleh Abdullah bin Ubai, Abdullah menyambutnya dengan penuh kemesraan sambil memberi rangsangan kepada mereka untuk terus melakukan perbuatan keji itu. Di antara rombongan itu ada yang bertanya: “Hai Ibnu Salul, di manakah hamba-hamba yang cantik-cantik itu?” Ibnu Salul menjawab: “Tenanglah, kami telah siapkan kesukaan kamu.” Kemudian dia pergi menemui petugasnya seraya bertanya: “Di mana Masikhah dan Ma’azah, karena rombongan itu telah mabuk dan mereka memiliki harta yang banyak. Pergi cari mereka”. Petugas itu pergi mencari Masikhah. Setelah bertemu Masikhah mengatakan: “Demi Allah, mulai sekarang aku tidak akan melakukan maksiat kepada Allah swt sekalipun nyawaku melayang dan tubuhku dicincang satu persatu.” Laki-laki itu berkata: “Inikah keputusanmu yang terakhir? Pikirkan baik-baik.” Masikhah menjawab: “Aku telah memikirkannya baik-baik. Mudah-mudahan Allah swt mengampuni dosa-dosaku yang terdahulu. Cukuplah kepada Allah swt aku berserah diri dan aku memohon kepadanya semoga Dia mengeluarkan kami dari neraka Jahim dan memberiku keampunan”. Laki-laki itu kembali menemui tuannya yang sedang duduk dalam keadaan mabuk dan dikelilingi pelanggan-pelanggannya. Laki-laki itu membisikkan apa yang didengarnya dari Maslkhah ke telinga Abdullah bin Ubai: “Masikhah menolak permintaanmu dan dia tidak akan mengulangi perbuatan keji itu sekalipun nyawanya melayang”. Mendengar berita itu, Abdullah bin Ubai merah dan tubuhnya gemetar. Tetapi dia berusaha menahan kemarahan di depan para pelanggannya, lalu dia keluar bersama laki-laki itu sambil berkata:“ Masikhah tidak dapat lari dari siksaanku dan dia mesti mentaati dan menuruti perintahku”.
Abdullah bin Ubai berjalan menuju rumah Masikhah dan dia menendang pintu kamar Masikhah dengan kakinya. Tiba-tiba dia terlihat sesuatu yang ganjil, di mana dia dapati Masikhah sedang mengerjakan shalat seperti shalat yang dilakukan oleh para wanita Islam yang lain. Abdullah tidak sabar menunggu Masikhah selesai shalat, lalu dia menyerang Masikhah seperti binatang buas, memukul tubuhnya dengan tangan dan tongkatnya. Masikhah menyembunyikan kesakitannya dengan harapan kesabarannya itu dapat menghapuskan dosa-dosanya yang lalu. Kesabaran Masikhah itu menyebabkan Abdullah semakin marah. Dengan suara yang kuat Abdullah berteriak: “Celaka engkau wahai wanita. Engkau keluar dari perintahku. Aku akan membunuhmu jika engkau tidak mematuhi perintahku, dan engkau akan mati di tanganku”. Melihat kejadian itu salah seorang petugasnya maju ke depannya untuk menegah Abdullah dari memukul Masikhah seraya berkata: “Tenanglah whai Abu al-Hubab.” Abdullah menjawab: “Mengapa engkau katakan demikian, sedang Muhammad itu membahayakan kita dalam segala bidang. Tetapi aku harus bersabar, karena aku tahu bagaimana caranya mematahkan hidung wanita yang membangkang dan melupakan kebaikanku”.
Abdullah bersama pengikutnya pergi meninggalkan Masikhah. Masikhah duduk sambil mengira luka dan darah yang keluar. Dia berharap kepada Allah swt semoga penderitaannya itu dapat menghapuskan dosanya dan semoga penderitaannya merupakan satu jalan untuk memperoleh taubat nasuha. Masikhah menadahkan tangan dan berdoa kepada Allah swt agar Dia memberinya petunjuk ke jalan yang benar. Ma’azah datang bertakziah atas apa yang berlaku ke atas Masikhah. Ma’azah turut berdukacita atas penderitaan yang dialami oleh sahabatnya itu. Pada malam harinya, keduanya memikirkan apa yang akan mereka lakukan terhadap laki-laki yang memaksa mereka melakukan perbuatan keji. Tiba-tiba Masikhah berkata: “Besok kita pergi kepada Rasulullah untuk menanyakan masalah kita ini?” Pada pagi hari, Masikhah dan Ma’azah pergi menemui Rasulullah saw. Sebelum keduanya sampai ke tempat yang dituju, mereka bertemu dengan Abu Bakar, dan Abu Bakar sangat sedih melihat Masikhah yang kepalanya penuh luka. Masikhah dan sahabatnya mengadu kepada Rasulullah saw tentang penderitaan yang mereka alami. Sebab kejadian itu turunlah firman Allah swt:
“Janganlah kamu paksa hamba-hamba wanitamu untuk melakukan pelacuran sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntugan duniawi. Dan barang siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah swt Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa.”(Qs.an-Nur:33)
Allah swt telah menetapkan bahwa dosa diletakkan ke atas majikan yang memaksa hamba wanitanya berbuat zina. Seterusnya Allah swt telah menetapkan hukuman ke atas penzina-penzina yang belum menikah yaitu dikenakan sebatseratus kali. Allah swt berfirman:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka cambuklah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali cambuk, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah swt. Jika kamu beriman kepada Allah swt dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman”.(QS.an-Nur:2)
Adapun bagi orang-orang yang sudah menikah baik laki-laki maupun perempuan, maka hukuman ke atas mereka adalah dilempar dengan batu sampai mati. Mendengar ayat al-Qur’an al-karim yang turun untuk menjawab persoalan keduanya, mereka sangat bergembira. Kemudian mereka bersujud kepada Allah swt yang telah mengakui kebenaran dan kesucian mereka. Berita itu tersebar di kalangan masyarakat al-Madinah, di mana keburukan Abdullah bin Ubai telah terbukti. Meskipun demikian, Abdullah bin Ubai yang diancam dengan azab yang dan neraka yang kayu apinya dari manusia dan batu, dia tidak mengambil ikhtibar daripadanya dan dia tidak mau bertaubat. Bahkan dengan kejahilan dan kedegilannya, dia berkata: “Muhammad telah membuat kita kalah kepada hamba-hamba kita”.
Itulah salah satu kisah yang terdapat dalam al-Qur’an al-Karim yang menceritakan tentang seorang wanita yang bergelumang dengan dosa akibat paksaan orang lain. Tetapi Allah swt telah menyelamatkan dan memaafkannya dari dosa-dosanya.
Referensi:
Buku ULUMUL QUR’AN Kajian Kisah-Kisah Wanita dalam Al-Qur’an. Penulis Muhammad Roihan Nasution.