Tafsir dan Takwil


Sebagaimana terjadi perbedaan pendapat tentang pengertian mukham dan mutasyabih
dalam arti khusus, perbedaan pendapat mengenai kemungkinan maksud ayat yang mutasyabih
pun tidak dapat dihindarkan. Sumber perbedaan pendapat ini berpangkal pada masalah waqaf
dalam surat ali-imran ayat 7: golongan yang mengatakan bahwa waqaf dilakukan pada lafadz
“wama yaklamu takwilahu illa allahu” dan menjadikan “warrosikhuna fil al-ilm” sebagai
isti‟naf (permulaan kalimat) mengatakan, takwil dalam ayat ini adalah takwil dengan pengertian
yang ketiga, yakni hakikat yang dimaksud dari sesuatu perkataan. Karena itu hakikat zat Allah,
esensi-Nya, kaifiat nama dan sifat-Nya serta hakikat hari kemudian, semua itu tidak ada yang
mengetahuinya selain Allah sendiri.28
Pendapat kedua (yang menyatakan “wawu” sebagai huruf ataf) dipilih oleh segolongan
yang dipelopori oleh mujahhid. Diriwiyatkan dari mujahid, ia berkata: saya telah membacakan
mushaf kepada ibn abbas mulai dari fatihah sampai an-Nas. Saya pelajari sampai paham setiap
ayatnya dan saya tanyakan kepadanya tentang tafsirnya.

Dengan merujuk kepada makna takwil maka akan jelaslah antara kedua pendapat diatas itu
tidak terdapat pertentangan, karena lafadz takwil digunakan untuk menunjukkan tiga makna:
1. Memalingkan sebuah lafadz dari makna yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah
(marjuh) karena ada suatu dalil yang menghendakinya,
2. Takwil dengan makna tafsir (menerangkan) yaitu pembicaraan untuk menafsirkan
lafadz-lafadz agar maknanya dapat dipahami
3. Takwil adalah hakikat yang kepadanya pembicaraan dikembalikan. Maka, takwil dari
apa yang diberitakan Allah tentang dzat-dzatnya ialah hakikat dzat-Nya sendiri.