Keterangan Tambahan: Bagaimana Konsep Tombo Ati


 

1.   Membaca al-Qur’an dengan Bertadabbur Maknanya

Al-Qur’an diturunkan oleh Allah salah satu tujuannya yaitu menjadi syifa’/ obat bagi penyakit-penyakit yang ada pada hati manusia. Sebagaimana telah dijelaskan dalam surah Yunus/10 ayat 57 yang mengatakan bahwasanya al-Qur’an telah diturunkan sebagai nasihat dan hikmah kepada manusia dan obat penyembuh penyakit yang ada di dalam hati, yaitu berupa keraguan, nifaq, kesalahan, dan perselisihan, dan al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi orang-orang yang mukmin, dan rahmat berupa kenikmatan. Oleh karena itu, sebagai seorang Muslim hendaknya kita sadar bahwa al-Qur’an telah memberikan solusi untuk mengobati penyakit hati dan menenangkan masalah kejiwaan.

Kemudian bagaimana cara seorang muslim –dalam hal ini sebagai reader- meresepsi atau merespon ayat tersebut, yaitu dapat dilakukan dengan meresepsi secara eksegetis yang mengarah kepada fungionalnya. Sebagai reader perlu untuk meresepsi ayat tersebut secara eksegetis, dengan memahami maksud dari ayat tersebut melalui penafsirannya. Jika berbicara mengenai obat hati sebagai konteksnya, maka ayat-ayat al-Qur’an yang bericara mengenai obat hati tersebut dapat dipahami dengan melihat makna dzohirnya yang mana para mufassir sepakat bahwa ayat tersebut menunjukkan al-Qur’an adalah obat bagi penyakit hati. Kemudian cara mengobati penyakit hati dengan al-Qur’an juga telah dijelaskan pada ayat lain, misalnya ayat-ayat al-Qur’an yang menganjurkan kita untuk membaca al-Qur’an dan memperhatikan maknanya seperti dalam surah Muhammad/47 ayat 24 berikut:

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا (24)

Terjemahnya:

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?”[1]

Maksud dari ayat tersebut yaitu, apakah mereka orang-orang munafik (orang yang di dalam hatinya terdapat penyakit) tidak membaca, dan menghayati al-Qur’an beserta apa yang ada di dalam al-Qur’an, yakni nasihat dan larangan, agar mereka tidak terjerumus ke dalam dosa yang membawa malapetaka? Ataukah hati mereka terkunci sehingga tidak ingin membaca, dan menghayati makna-makna yang terkandung dalam al-Qur’an? Dan jikalau mereka membaca al-Qur’an, mereka tetap tidak dapat terbuka hatinya?[2]

Ayat tersebut dapat dipahami sebagai perintah untuk membaca al-Qur’an dengan bertadabbur, dan mengangan-angan maknanya, agar terhindar dari perbuatan yang dapat membawa mafsadah atau kerugian, dan agar hati tidak terkunci serta merasa tenang. Oleh karena itu, dengan membaca al-Qur’an dan bertadabbur atas maknanya, maka seorang reader telah meresepsi al-Qur’an secara fungsional, yakni membaca al-Qur’an agar penyakit hati hilang dan jiwa terasa tenang. Hal ini selaras dengan Hadits Nabi Muhammad SAW. yang mengatakan bahwa sebaik-baik obat adalah al-Qur’an sebagaimana berikut:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْكِنْدِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ ثَابِتٍ قَالَ: حَدَّثَنَا سَعَّادُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ الْحَارِثِ، عَنْ عَلِيٍّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:

«خَيْرُ الدَّوَاءِ الْقُرْآنُ»[3]

Artinya: “Telah bercerita kepadaku Muhammad bin ‘Ubaid bin ‘Utbah bin Aburaahman al-Kindiy berkata: telah bercerita kepadaku Ali bin Tsabit berkata: telah bercerita kepadaku Sa’ad bin Sulaiman, dari Abi Ishaq, dari Harits, dari Ali Berkata: bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda:

“Sebaik-baik obat adalah al-Qur’an”.

(HR. Ibnu Majah No. 3501).

Hadits tersebut menjelaskan bahwa al-Qur’an adalah sebaik-baik obat. Dalam setiap surah dan ayat dalam al-Qur’an adalah obat dan rahmat bagi seorang muslim.[4] Yang dimaksud obat dalam matan Hadits tersebut yaitu obat hati, badan, dan jiwa dengan metode ruqyah.[5] Pendapat lain mengatakan bahwa kata obat dalam hadits tersebut lebih mengarah kepada obat hati daripada obat penyakit jasmani. Dan jikalau al-Qur’an terbukti dapat menyembuhkan penyakit jasmani, tentu hal tersebut bukan tidak mungkin, asalkan dengan i’tiqad yang baik dan taqwa, maka akan bertambah iman seseorang atas hal tersebut. Akan tetapi menurut Fu’ad Abdul Baqi, dalam hadits tersebut salah satu perawinya ada Harits al-A’war, yang menyebabkan lemahnya sanad Hadits tersebut. Syaikh al-Albani juga menilai hadits tersebut adalah hadits dloif.[6]

Meskipun kualitas sanad dari Hadits tersebut lemah, akan tetapi esensi makna dari matan Hadits tersebut sangatlah kuat dan selaras dengan al-Qur’an yang mengatakan bahwa al-Qur’an adalah as-Syifa’ atau obat yang dapat menyembuhkan penyakit yang ada dalam hati manusia. Disamping itu, terdapat juga hadits lain yang mendukung esensi makna matan Hadits tersebut, sebagaimana Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya:

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:

«مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ تَعَالَى، يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ، إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَحَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ»[7]

Artinya: Telah bercerita kepadaku, Utsman bin Abi Syaibah, telah bercerita kepadaku, Abu Mu’awiyah, dari al-A’masy, dari Abi Shalih, dari Abi Hurairah, dari Nabi SAW. bersabda:

“tidak berkumpul suatu kaum pada suatu rumah dari rumah Allah untuk membaca Kitab Allah (al-Qur’an) dan bertadarus Al-Qur’an, kecuali mereka dianugerahi ketenangan, diliputi rahmat, dikerumuni malaikat, dan dibanggakan Allah dihadapan para malaikat-Nya.”

(H.R. Muslim dan Abu Dawud No. 1455)

Hadits tersebut menjelaskan tentang fadlilah membaca al-Qur’an di masjid atau di dalam satu majlis dzikir atau majlis ta’lim[8], baik membaca bersama-sama dengan simak menyimak maupun secara sendiri-sendiri, atau dengan hafalan[9], baik dengan tafsirnya maupun tanpa tafsirnya, akan mendapatkan ketenangan dalam jiwanya, mendapatkan rahmat, dikelilingi Malaikat, dan Allah membanggakannya di depan para Nabi, Malaikat, dan para wali. Rahmat yang dimaksud dalam Hadits tersebut yaitu rasa tenang dan khidmat.[10] Sedangkan yang dimaksud dikelilingi malaikat yaitu, para malaikat senantiasa hadir dalam suatu majlis dzikir atau majlis ta’lim al-Qur’an.[11] Hadits tersebut sanadnya shahih dan diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Abu Dawud dan Ibnu Majah.[12]

Adapun alasan mengapa membaca al-Qur’an dapat menyembuhkan penyakit hati, menurut Sayyid Bakr al-Makki, karena al-Qur’an dapat melapangkan dan menerangi hati seseorang yang membacanya, membuat seseorang yang membaca al-Qur’an merasa takut akan adzab Allah sekaligus mengagumi kuasa Allah, dan membuat hati seseorang yang membaca al-Qur’an menjadi terenyuh. Akan tetapi hal tersebut akan terjadi apabila seseorang yang membaca al-Qur’an tersebut senantiasa menjaga adabnya, dan dapat menjadi teladan serta panutan.

Menurut Hasan al-Bashri, pada masa sekarang ini tidaklah ada orang yang membaca al-Qur’an dan mengimaninya, kecuali orang tersebut banyak sedihnya, sedikit bahagianya, banyak menangisnya dibanding tertawanya, lebih banyak lelah dan sibuknya, dan sedikit rasa nyaman dan luangnya. Wahab bin al-Warad juga berpendapat bahwa tidak ada perbincangan ataupun khutbah yang dapat melembutkan hati atau merenyuhkan hati (membuat seseorang ingin menangis). Menurutnya, suatu hal yang dapat menjadikan seseorang merasa terenyuh dan tersentuh hatinya yaitu ketika membaca al-Qur’an, memahaminya, dan juga bertadabbur maknanya.[13]

Melihat keterangan-keterangan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa cara pertama yang dapat dilakukan seseorang untuk menyembuhkan penyakit hati yaitu dengan cara membaca al-Qur’an dan memahami artinya atau bertadabbur atas makna yang terkandung di dalamnya. Selain sebagai obat untuk penyakit hati, dengan membaca al-Qur’an tentunya seseorang akan mendapatkan pahala, karena membaca al-Qur’an termasuk suatu ibadah, dan setiap ibadah yang dilakukan secara ikhlas akan membawa seseorang untuk lebih dekat kepada Tuhannya. Selain itu, dengan membaca al-Qur’an dan bertadabbur atas maknanya, seseorang akan merasa terenyuh, merasa dekat dengan Tuhannya, sehingga menjadikan hatinya tenang, tentram, dan nyaman.

2.   Qiyamullail (Shalat Malam)

Obat hati yang kedua yaitu menjalankan shalat malam atau qiyamullail. Perlu diketahui bahwa shalat qiyamullail merupakan shalat sunnah yang dikerjakan pada malam hari setelah mengerjakan shalat Isya’. Di antara shalat qiyamullail yaitu shalat tahajjud, shalat hajad, shalat tasbih, dan shalat witir. Dan di antara shalat qiyamullail tersebut yang lebih utama yaitu shalat tahajjud, sehingga shalat qiyamullail identik dengan shalat tahajjud. Dalam al-Qur’an telah dijelaskan mengenai perintah/ anjuran untuk mengerjakan shalat tahajjud sebagai ibadah tambahan atau ibadah yang disunnahkan, yakni dalam surah al-Isra’/17 ayat 79 berikut:

وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا (79)

Terjemahnya:

“Dan pada sebahagian malam hari ber sembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji”.[14]

Sebelum ayat tersebut, yakni ayat 78 surat al-Isra’, telah disebutkan perintah untuk mendirikan shalat maktubah dari pagi hingga petang. Kemudian dalam ayat 79 surah al-Isra’ tersebut, Allah memerintahkan untuk shalat malam/shalat tahjjud. Menurut Ibnu Katsir dalam penafsirannya, shalat tahajjud merupakan shalat yang paling utama dikerjakan setelah shalat maktubah,[15] sehingga kemudian shalat tahajjud menjadi syari’at yang disunnahkan. Dalam ayat tersebut juga dijelaskan bahwa shalat tahajjud merupakan ibadah tambahan, agar seorang Muslim yang senantiasa menjalankannya akan mendapatkan tempat/ derajad yang tinggi di sisi Allah. Selain itu anjuran untuk menjalankan shalat qiyamullail juga dijelaskan dalam surah Qaf/50 ayat 40 sebagaimana berikut:

وَمِنَ اللَّيْلِ فَسَبِّحْهُ وَأَدْبَارَ السُّجُودِ (40)

Terjemahnya:

“Dan bertasbihlah kamu kepada-Nya di malam hari dan setiap selesai sembahyang”.[16]

Terdapat dua pendapat mengenai penafsiran ayat tersebut. Pendapat pertama mengatakan bahwa maksudnya yaitu Allah memerintahkan Nabi SAW dan Umat Islam untuk senantiasa berdzikir pada waktu-waktu tersebut. Sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa waktu-waktu tersebut dinisbatkan pada waktu shalat subuh pada sebelum terbitnya matahari, shalat dzuhur dan ashar sebelum terbenamnya matahari, dan pada sebagian malam maksudnya yaitu shalat maghrib dan Isya’.[17] Menurut al-Burusawi, bertasbih di sebagian malam juga dapat dinisbatkan kepada qiyamullail, karena malam adalah waktu yang sunyi, sehingga terasa nikmat untuk bermunajat di waktu tersebut.[18]

Melihat konteks turunnya ayat tersebut, yaitu ketika Nabi Muhammad SAW dan kaum Muslimin hatinya terluka akibat dari ucapan-ucapan hinaan dan fitnah-fitnah yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani kepada Nabi dan kaum Muslimin yang sudah keterlaluan. Kemudian Allah menurunkan ayat tersebut sebagai perintah untuk senantiasa bersabar dalam menghadapi kaum Yahudi dan Nasrani, dan untuk mengobati sakit hati itu Allah memerintahkan Nabi dan kaum Muslimin untuk senantiasa bertasbih dengan memuji Allah dari fajar hingga petang, dan di sebagian malam dengan qiyamullail, serta setiap selesai menjalankan shalat.

Hal ini dapat diterapkan dalam konteks obat hati, yakni ketika seseorang sedang merasa gelisah hatinya, atau hatinya tidak tenang akibat cemooh dari orang lain ataupun faktor lain, tentu hendaknya menambah ibadahnya dengan berdzikir dan menjalankan qiyamullail di sepertiga malam, karena waktu tersebut merupakan waktu yang sunyi dan paling nikmat untuk bermunajat. Selain itu, dengan menjalankan qiyamullail sama halnya dengan membersihkan jiwa dan membuat lebih bersemangat di pagi harinya. Sebagaimana diriwayatkan dalam Hadits Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya berikut:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، قَالَ: أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:

«يَعْقِدُ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ إِذَا هُوَ نَامَ ثَلاَثَ عُقَدٍ يَضْرِبُ كُلَّ عُقْدَةٍ عَلَيْكَ لَيْلٌ طَوِيلٌ، فَارْقُدْ فَإِنِ اسْتَيْقَظَ فَذَكَرَ اللَّهَ، انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ، فَإِنْ تَوَضَّأَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ، فَإِنْ صَلَّى انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ، فَأَصْبَحَ نَشِيطًا طَيِّبَ النَّفْسِ وَإِلَّا أَصْبَحَ خَبِيثَ النَّفْسِ كَسْلاَنَ»[19]

Artinya: Telah bercerita kepadaku, Abdullah bin Yusuf, berkata: telah memberi kabar kepadaku, Malik, dari Abi az-Zinad, dari al-A’raj, dari Abi Hurairah r.a. : Sesunggungnya Rasulullah SAW. bersabda:

“Setan akan mengikat tiga ikatan di tengkuk salah satu dari kalian ketika sedang tidur, ia membuat setiap satu ikatan dan membisikkan ‘Malam masih panjang’, apabila seseorang bangun kemudian berdzikir kepada Allah, maka akan lepas satu ikatan, apabila seseorang berwudlu, maka akan terlepas satu ikatan lagi, apabila seseorang shalat, maka akan terlepas satu ikatan lagi, niscaya di pagi harinya ia menjadi bersemangat dan berjiwa bersih, apabila tidak, maka di pagi harinya jiwanya menjadi kotor dan malas”.

(H.R. Bukhari No. 1142, dan Muslim No. 776).

Hadits tersebut menjelaskan tentang urgensi dari shalat malam/ qiyamullail. Bahwasanya setan selalu menggangu manusia agar jauh dari Tuhannya, sehingga saat seseorang tertidur di malam hari, setan berusaha untuk membuat seseorang menjauhi kebaikan dengan mengikat hati seseorang untuk selalu tertidur pulas di malam hari hingga lupa waktu dengan tiga ikatan. Ketika seseorang terbangun, setan membisikkan bahwa malam masih panjang. Ketika seseorang bangun dan berdzikir kepada Allah, maka akan dikuranginya rasa malas untuk bangun dan terlepaslah satu ikatan, ketika seseorang berwudlu maka lepaslah ikatan kedua, ketika seseorang melaksanakan shalat malam, maka terlepaslah ketiga ikatan tersebut. Dan di pagi hari seseorang yang menjalankan shalat malam tersebut hatinya akan merasa tenang dan bahagia karena telah dijanjikan oleh Allah suatu pahala dan ampunan. Namun apabila tidak melaksanakannya, maka seseorang itu sama saja membiarkan setan mengikat hatinya dan menjauhkannya dari berbuat baik dengan rasa malas.[20]

Hadits tersebut shahih sanadnya dan banyak diriwayatkan oleh perawi-perawi hadits melalui jalur yang berbeda-beda. Melihat kandungan dari Hadits tersebut maka dapat diketahui bahwa salah satu manfa’at dari shalat malam adalah mendapatkan ketenangan jiwa. Hal ini dikarenakan shalat tahajud mempunyai koneksi spiritual yang intim antara makhluq dan khaliq yang membuat hati akan merasa tenang dan damai ketika melaksanakannya.

Adapaun keutamaan menjalankan shalat qiyamullail, menurut Sayyid Bakr al-Makki shalat qiyamullail dapat melapisi/ menjadi tameng hati dari tipu daya setan, selain itu qiyamullail juga dapat mencegah seseorang agar tidak berbuat dosa, menolak penyakit jasad/ penyakit jasmani, dan juga penyakit-penyakit hati, serta shalat qiyamullail juga termasuk adabnya orang-orang shalih. Menurut Habib Abdillah al-Haddad yang juga dikutip oleh Sayyid Bakr berpendapat bahwasanya qiyamullai/ shalat malam merupakan salah satu hal yang dapat mengharukan jiwa atau membuat hati merasa terenyuh, terutama dilakukan ketika bangun tidur. Memanglah menjalankan qiyamullail awalnya sangat berat, namun dengan pembiasaan, ketekunan, dan kesabara, maka kemudian akan terbuka pintu keintiman dengan Allah, manisnya bercakap-cakap dengan-Nya, dan nikmatnya berduaan dengan-Nya.[21]

Dari keterangan-keterangan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa obat hati yang kedua yaitu mendirikan shalat malam/ qiyamullail, karena dengan menjalankan ibadah qiyamullail, seseorang telah melepaskan hatinya dari belenggu setan ketika tidur, lebih dekat dengan Allah, dan dengan menjalankan amalan ibadah qiyamullail pada malam hari, yang dimana malam adalah waktu yang sunyi, sehingga koneksi spiritual antara manusia dengan Tuhannya akan terasa intim yang dapat membuat hati terasa lebih tentram, nyaman, dan damai.

3.   Berkumpul dengan Orang-orang Sholih

Cara mengobati penyakit hati yang ketiga yaitu berkumpul dengan orang-orang shalih. Di dalam al-Qur’an telah dijelaskan perintah/ anjuran untuk senantiasa membersamai orang-orang mukmin dan larangan untuk mengikuti orang-orang fasik. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surah al-Kahfi/18 ayat 28 berikut:

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا (28)

Terjemahnya:

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas”.[22]

Jika melihat ayat tersebut dalam konteks penyembuh hati, maka dapat dipahami bahwa ketika hati sedang merasa tidak tenang, maka hendaklah bersabar dan berkumpullah bersama orang-orang yang shalih, (yaitu orang-orang senantiasa berdzikir kepada Allah, meng-Esa-kan Allah, memuji Allah, mesucikan Allah, mengagungkan Allah, dan selalu meminta kepada Allah kapanpun dengan beribadah dan melakukan amal shalih dengan menjalankan shalat yang wajib maupun ibadah lainnya dengan mengaharap kebaikan dari Allah, baik merka orang yang fakir, kaya, kuat, maupun lemah)[23] dan jangan lah berkumpul dengan orang-orang yang fasik (yaitu orang-orang yang lalai dalam hal mengingat Allah, dan selalu menuruti hawa nafsunya), karena orang-orang yang shalih akan membawakan dampak kebaikan dan keselamatan di akhirat, sedangkan orang-orang munafik dan orang-orang yang fasik tidak dapat memberikan manfa’at kebaikan kepada orang-orang mukmin dan berpotensi membawa kepada kesesatan. Sebagaimana diceritakan dalam surah Surah al-Furqan/25 ayat 27-29 berikut:

وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا (27) يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا (28) لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْإِنْسَانِ خَذُولًا (29)

Terjemahnya:

Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya seraya berkata: “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul”. Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan sifulan[24] itu teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al-Qur’an ketika Al-Qur’an itu telah datang kepadaku. Dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia.

Ayat tersebut menceritakan seorang yang menyesal karena salah dalam hal memilih teman. Pada awalnya si Fulan yang diceritakan dalam ayat tersebut memilih teman yang fasik dan tidak memilih berteman dengan orang sholih. Padahal teman yang fasik itu membawa dia kepada kesesatan dan menjauhi keyakinan atas al-Qur’an. Hingga kemudian ia sadar akan kesesatannya, dan ia pun menyesali perbuatannya karena memilih teman yang fasik tersebut daripada teman yang sholih.

Menurut keterangan Sayyid Bakr al-Makki, mengapa berkumpul dengan orang sholih dapat menyembuhkan penyakit hati, karena dengan berkumpul bersama orang-orang sholih akan berpotensi untuk meneladani sifat-sifat orang sholih, baik dalam hal perbuatan, perkataan, maupun keadaannya. Orang-orang shalih tentunya juga akan mengajak untuk tidak berbuat sesuatu yang dapat menimbulkan penyakit hati, dan tidak pula menyakiti hati. Oleh karena itu seseorang yang berkumpul bersama orang-orang sholih akan termotivasi untuk mengikuti amal sholihnya, yang akan membuat seseorang bahagia. Dan orang-orang yang sholih senantiasa menjunjung tinggi hak Allah dan hak-hak hamba-Nya.[25]

Melihat keterang-keterangan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa cara ketiga yang dapat dilakukan seseorang ketika terdapat penyakit dalam hatinya, atau untuk membuat hati terasa tenang, hendaklah berkumpul dengan orang-orang sholih. Hal tersebut dikarenakan orang-orang sholih akan membawakan dampak positif bagi kehidupan, dan akan membuat hati terasa tenang dan nyaman. Contoh kecil misalnya, ketika hati kita merasa suntuk akibat pekerjaan atau hati sedang sedih, kemudian menceritakan masalah kepada teman-teman yang notabenenya orang sholih, tentunya mereka akan senantiasa menghibur kita dengan mengajak kita untuk berbuat kebaikan, memberi saran dan nasihat-nasihat yang baik kepada kita, sehingga hati kita pun terasa nyaman dan tentram ketika bersamanya. Terlebih lagi kita meneladani sifat-sifat baik dari orang-orang yang sholih, Insyaallah hati kita akan terjaga dari penyakit-penyakit hati.

4.   Memperbanyak Berpuasa

Cara keempat yang dapat dilakukan seseorang untuk menyembuhkan penyakit hati yaitu dengan cara berpuasa. Dalam konsep tombo ati yang ditawarkan oleh Ibrahim al-Khawwash, redaksi yang digunakan yaitu “mengosongkan perut”. Namun dapat dipahami bahwa ibadah yang esensinya mengosongkan perut yaitu berpuasa. Oleh karena itu penulis menyebutkan bahwa obat hati yang keempat yaitu memperbanyak berpuasa. Dalam al-Qur’an telah dijelaskan perintah untuk berpuasa, yakni dalam surah al-Baqarah/2 ayat 183-185. Dalam ayat tersebut yang menjadi kunci untuk menjawab mengapa berpuasa dapat dijadikan sebagai obat hati yaitu pada ayat 185 berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (183)

Terjemahnya:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.[26]

Poin yang dapat diambil terkait relevansi puasa sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit hati dalam ayat tersebut yaitu pada lafadz “la’allakum tattaqun”/supaya kalian bertakwa. Para mufassir sepakat bahwa kata tersebut mempunyai makna ‘agar kalian dapat menjaga diri dari maksiat’. Hal tersebut dikarenakan puasa dapat menjadi pembendung nafsu yang merupakan sumber utama penyebab kemaksiatan tersebut, sehingga berpuasa menjadi penyebab seseorang bertakwa kepada Allah. Selain itu, berpuasa juga dapat membersihkan jiwa, dan mempersempit jalannya setan untuk menggoda manusia.[27] Seseorang yang berpuasa dapat mengendalikan nafsu syahwat yang ada pada diri nya. Sebagaimana diriwayatkan dalam Hadits yang disepakati Imam  Bukhari dan Imam Muslim berikut:

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَأَبُو كُرَيْبٍ، قَالَا: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ عُمَارَةَ بْنِ عُمَيْرٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ، عَنْ عَبْدِ اللهِ، قَالَ: قَالَ لَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:

«يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ»[28]

Artinya: Telah bercerita kepadaku, Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Abu Kuraib, keduannya berkata: telah bercerita kepadaku Abu Mu’awiyah, dari al-A’masy, dari Umarah bin Umair, dari Abdurrahman bin Yazid, dari Abdullah, berkata: Rasulullah SAW. bersabda kepada kita:

“Wahai kaum muda, barang siapa dari kalian telah mampu berkeluarga, maka menikahlah, karena menikah dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan, dan barang siapa belum mampu menikah maka berpuasalah, sesungguhnya berpuasa dapat mengendalikan nafsumu”.

(HR. Imam Bukhori No. 5065 dan Muslim No. 1400.)

Hadits tersebut menjelaskan bahwa seorang anak muda yang sudah mencapai umur mempunyai gejolak syahwat biologis, sehingga untuk menghindari perzinaan, Rasulullah SAW. menganjurkan mereka untuk menikah, karena dengan menikah, gejolak biologis tersebut dapat tersalurkan secara halal. Namun menikah tentunya membutuhkan kesiapan yang cukup baik dari segi mental maupun materi, sehingga Rasulullah memberikan solusi bagi anak muda yang cukup umur dan belum siap menikah, unuk melakukan puasa. Karena dengan berpuasa seseorang dapat meredam syahwat biologis. Selain itu puasa dapat menahan hawa nafsu dan mengontrol emosi.[29] Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa puasa dapat mengobati penyakit hati yang timbul akibat emosi dan juga nafsu syahwat yang sulit dikendalikan.

Menurut Sayyid al-Bakr, alasan mengapa dengan mengosongkan perut/ berpuasa dapat menjadi obat hati, karena kosongnya perut dapat menetralkan/ merelaksasikan hati dan menyelamatkan hati dari sifat zalim dan angkuh. Selain itu kosongnya perut juga dapat meringankan tubuh untuk beribadah dan mencegah penyakit. Sebaliknya, perut yang terus-menerus merasa kenyang dapat menyebabkan seseorang merasa malas untuk beribadah, dan menyebabkan berbagai macam penyakit. Sayyid al-Bakr juga menambahkan bahwa tuannya suatu amal adalah rasa lapar, dan rasa lapar adalah otak dari ibadah. Oleh karena itu hidupkanlah hati dengan sedikit tertawa, sedikit rasa kenyang, dan sucikanlah hati dengan rasa lapar.[30]

Melihat dalil dan keterangan-keterangan tersebut, maka dapat diketahui bahwasanya mengosongkan perut/ berpuasa dapat menjadi obat bagi hati yang berpenyakit. Seseorang yang berpuasa dapat lebih mengontrol emosinya, dan juga meredam nafsu syahwatnya. Ibadah puasa sangat dianjurkan bagi seorang Muslim terutama bagi kaula muda, karena anak muda yang menginjak usia remaja/ puber sering kali mempunyai emosi dan nafsu yang tinggi, yang apabila dituruti terus-menerus akan memberikan dampak negatif baginya. Oleh sebab itu, kaula muda sangat dianjurkan untuk berpuasa sebagai ibadah yang dapat mengobati penyakit hati, meredam emosi dan syahwat yang sedang tinggi di usia tersebut. Di samping itu, seseorang yang berpuasa juga akan merasakan apa yang dirasakan orang-orang fakir yang hidupnya diselimuti kesusahan untuk makan, sehingga jiwa sosial seseorang yang berpuasa juga akan tergugah.

 

5.   Berdzikir di Waktu Malam

Obat hati yang kelima yaitu “dzikir wengi igkang suwe”, yang artinya memperpanjang dzikir di malam hari. Dalam teks dawa’ al-qalbi yang diriwayatkan Ibrahim al-Khawwash disebut dengan “tadlarru’ ‘inda as-sahar”, yang maksudnya yaitu bertad}arru’ di waktu sahur. Bertadlarru’ artinya merendahkan hati dihadapan Allah. Sedangkan waktu sahur yaitu waktu sepertiga akhir malam atau disebut dengan fajar kadzib. Bertadlarru’ di waktu sahur dapat dimaknai dengan berdzikir di malam hari, yang lebih utamanya dilaksanakan di sepertiga malam/di waktu sahur. Dalam al-Qur’an telah dijelaskan bahwa ketika hati merasa sempit hendaklah mengingat Allah, karena Allah-lah Dzat Maha Suci yang menciptakan hati. Sebagaimana dijelaskan dalam surah Surah al-Hijr/15 ayat 97-98 berikut:

وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَ (97) فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُنْ مِنَ السَّاجِدِينَ (98)

Terjemahnya:

“Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat)”.[31]

Melihat konteks turunnya, ayat tersebut merupakan jawaban dari Allah atas problematika yang dihadapi oleh Nabi Muhammad SAW. Ketika Nabi berdakwah menyampaikan ajaran Islam, respon orang-orang musyrik sangatlah buruk, bahkan Nabi dianggap sesat, berbohong, dan dicemooh oleh orang-orang musyrik, sehingga menyebabkan hati Nabi merasa sakit dan sedih. Kemudian Allah menurunkan ayat tersebut sebagai perintah untuk bersabar dan bertasbih dengan memuji Allah dan mendirikan shalat. Menurut ar-Razi, ayat tersebut merupakan perintah Allah kepada Nabi SAW ketika hatinya sakit karena fitnah, cemooh, dan dianggap sebagai pembohong, yang ditebar orang-orang musyik, untuk senantiasa bersabar dan senantiasa melaksanakan empat perkara, yaitu bertasbih, tahmid, shalat, dan beribadah.[32]

Dalam memaknai ayat tersebut dalam konteks obat hati, maka dapat dipahami bahwa ayat tersebut merupakan perintah bagi kita untuk senantiasa bersabar dan ingat kepada Allah, terlebih ketika kita mendapat masalah, musibah, maupun cobaan. Ketika kita sedang dalam masalah dan hati terasa gelisah, hendahnya kita bersabar dan senantiasa berdzikir kepada Allah, dengan mengucapkan tasbih, tahmid, atau dengan menjalankan shalat dan ibadah-ibadah lainnya, karena Allah-lah sang pencipta hati kita, dan hanya Allah yang dapat menyembuhkan rasa sakit yang ada dalam hati, serta memberikan ketenangan terhadap hati kita. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah juga menerangkan keutamaan berdzikir, sebagaimana berikut:

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ، عَنْ عَمَّارِ بْنِ رُزَيْقٍ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ الْأَغَرِّ أَبِي مُسْلِمٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَأَبِي سَعِيدٍ، يَشْهَدَانِ بِهِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:

«مَا جَلَسَ قَوْمٌ مَجْلِسًا يَذْكُرُونَ اللَّهَ فِيهِ إِلَّا حَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ، وَتَغَشَّتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَتَنَزَّلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ»[33]

Artinya: Telah bercerita kepadaku, Abu Bakr bin Abi Syaibah, berkata: telah bercerita kepadaku, Yahya bin Adam, dari ‘Ammar bin Ruzaiq, dari Abi Ishaq, dari al-Agharr Abi Muslim, dari Abi Hurairah, dan Abi Sa’id, keduanya menyaksikan Nabi Muhammad SAW. bersabda:

“Tidak duduk suatu kaum dalam satu majlis yang mereka berdzikir kepada Allah di dalam majlis tersebut kecuali para Malaikat mengerumuni mereka, dan rahmat menyelimuti mereka, dan ketenangan turun untuk mereka, serta Allah membanggakan mereka dihadapan para malaikat-Nya”.

(H.R. Ibnu Majah No. 3791).

Hadits tersebut menjelaskan tentang keutamaan berdzikir kepada Allah berjamaah dalam suatu majlis/ perkumpulan. Suatu majlis dzikir akan dihadiri para Malaikat, diselimuti rahmat, mendapat ketenangan, dan diridloi Allah. Menurut keterangan Muhammad Fuad Abdul Baqi dalam syarh Hadits tersebut, fadlilah berdzikir kepada Allah salah satunya yaitu mendapatkan ketenangan dan juga kedamaian hati, sebagaimana Firman Allah “Ingatlah, dengan berdzikir hati menjadi tentram”. Dengan berdzikir secara khusyu’ juga dapat membersihkan hati dan menghilangkan kegelapan atau keburukan nafsu. Sanad Hadits ini menurut al-Albani adalah shahih.[34]

Adapun waktu yang utama untuk bertad}arru’ atau berdzikir dengan merendahkan hati dihadapan Allah dengan khusyu’ yaitu di waktu malam hari, tepatnya di sepertiga akhir malam. Sebagaimana dijelaskan dalam surah Surah at-Thur/52 ayat 49 berikut:

وَمِنَ اللَّيْلِ فَسَبِّحْهُ وَإِدْبَارَ النُّجُومِ (49)

Terjemahnya:

“Maka bertasbihlah kepada-Nya pada beberapa saat di malam hari dan di waktu terbenam bintang-bintang (waktu fajar)”.[35]

Ayat tersebut merupakan perintah untuk bertasbih seraya memuji Allah, dengan mengucapkan subhanallahi wa bihamdihi, ketika bangun tidur, dan ketika malam hari dan di waktu terbenamnya bintang-bintang, maksudnya yaitu waktu fajar, sebelum subuh.[36] Dalam konteks dzikir, ayat tersebut merupakan dalil dianjurkannya bertadlarru’ di waktu fajar/ waktu sahur sebelum waktu subuh, karena waktu malam merupakan waktu yang hening dan nikmat untuk berdzikir kepada Allah, sehingga dengan mendekatnya diri kepada Allah, hati akan lebih terasa tenang dan nyaman.

Selain itu, menurut Sayyid Bakr al-Makki, waktu sahur/sepertiga akhir malam merupakan waktu yang paling nikmat untuk bermunajat dan berdoa kepada Allah, karena pada waktu tersebut setiap doa berpotensi sangat tinggi untuk dikabulkan oleh Allah. Di waktu tersebut, Allah menurunkan barokah di langit dunia. Ketika seseorang menangis pada sepertiga akhir malam dan berdo’a kepada-Nya maka Allah akan mengabulkan do’anya. Ketika seseorang memohon ampunan kepada Allah pada waktu tersebut maka Allah akan mengampuninya. Dan menurut Sayyid Bakr, tangisan tersebut hendaknya disertai dengan berdzikir kepada Allah, menyerahkan dan juga merendahkan diri dihadapan Allah, maka Allah akan mengabulkan dan mengangkat derajadnya.[37]

Melihat keterangan-keterangan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa dengan bertadlarru’ atau berdzikir di malam hari dapat mengobati penyakit yang ada di dalam hati dan juga dapat membawakan ketenangan kepada seseorang yang menjalankannya. Hal tersebut dikarenakan pada waktu sahur, yakni sepertiga akhir malam merupakan waktu yang sunyi, sakral, dan termasuk waktu yang diijabahi oleh Allah, sehingga dengan berdzikir, berdo’a, dan mencurahkan isi hati dengan merendah dihadapan Allah, akan membuat hati terasa tenang.  Misalnya si Fulan sedang merasa gelisah dan hatinya tidak tenang karena mempunyai banyak masalah. Kemudian pada sepertiga akhir malam ia bertadlarru’. Sedangkan waktu malam adalah waktu yang sunyi, sehingga si Fulan akan merasakan nyaman dengan berdzikir, berdoa, dan mencurahkan isi hatinya dihadapan Allah. Maka setelahnya, hati si Fulan akan merasa lebih tenang dan Insyaallah, Allah akan memberikan jalan keluar baginya.

Kelima obat hati tersebut bersumber dari al-Qur’an dan Hadits, yang kemudian diriwayatkan oleh Ibrahim al-Khawwash dalam petuahnya. Para Ulama sepakat bahwa cara-cara tersebut efektif dilakukan bagi seseorang yang hatinya terdapat penyakit, dan juga seseorang yang hatinya gelisah, tidak tenang, dan sedang mempunyai gangguan mental. Seseorang yang sedang mempunyai gejala tersebut dapat mempraktikkan kelima atau salah satu dari obat hati tersebut agar Allah menyembuhkannya dan memberikan ketenangan bagi hatinya. Selain sebagai obat, tentunya amalan-amalan tersebut dapat juga untuk mencegah adanya penyakit hati dan dapat menjadikan naiknya derajad seseorang di hadapan Allah.

Selain kelima obat hati yang diriwayatkan oleh Ibrahim al-Khawwash tersebut, Sayyid Bakr al-Makki menambahi bahwa hati yang terdapat penyakit dapat diobati dengan memakan makanan yang halal, baik halal makanannya maupun halal cara mendapatkannya.[38] Disamping itu, Syaikh Nawawi al-Bantani menambahkan dengan ‘uzlah (menyendiri), diam (tidak banyak berbicara yang tidak perlu), meninggalkan kesesatan/maksiat, dan mengonsumsi perkara yang halal, karena mengonsumsi perkara yang halal merupakan inti dari semua obat hati tersebut. Dan perkara halal yang dikonsumsi dapat menyinari hati, memperbaiki hati, mengobati luka yang ada dalam hati akibat penyakit hati, mencegah munculnya bahaya, dan memperbanyak datangnya kebaikan.[39]

[1] Kementrian Urusan Agama Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 833.
[2] Isma’il Haqqi bin Musthafa al-Istanbuli al-Burusawi, Ruh al-Bayan, juz 8, h. 518.
[3] Ibnu Majah Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, Juz 2, Arab Saudi: Dar Ihya’ al-Kutub al-Araby, T.th, h. 1158.
[4] As-Syuyuthi, Muhammad Abdul Ghani al-Mazdadi, Fahrul Hasan bin Abdurrahman al-Hanafi, Syarh Sunan Ibnu Majah (Majmu’ min Tsalasati Syuruh, Misbah az-Zujajah, as-Syuyuthi, Injah al-Hajah, Muhammad Abdul Ghani al-Mazdadi, Ma Yaliqu min Halli al-Lugat wa Syarh al-Musykilat, Fahrul Hasan bin Abdurrahman al-Hanafi), Karachi: Qadimi Kutubu Khanah, t.th, h. 250.
[5] Abdurrauf Zainuddin Muhammad bin Taj al-Arifin bin Ali bin Zainal Abidin al-haddadi, Faid al-Qadir Syarh al-Jami’ as-Shagir, Juz 3, Mesir: al-Maktabah at-Tijariyyah al-Kubra, Cet. 1, 1356 H, h. 471.
[6] Muhammad bin Abdul Hadi at-Tatwi, Abu al-Hasan, Nuruddin as-Sandi, Hasyiyyah as-Sandi ‘ala Sunan Ibn Majah (Kifayah al-Hajah fi Syarh Sunan Ibn Majah), Juz 2, Beirut: Dar al-Jalil, t.th, h. 355.
[7] Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abu Dawud, Juz 2, Beirut: al-Maktabah al-Asriyyah, t.th, h. 71.
[8] Athiyah bin Muhammad Salim, Syarh al-Arba’in an-Nawawiyyah, Juz 78, Pelajaran audio yang diunggah oleh situs web http://www.islamweb.net, dalam Maktabah Syamilah, h. 9.
[9] Ahmad Huthaibah, Syarh at-Targib wa at-Tarhib, Pelajaran audio yang diunggah oleh situs web http://www.islamweb.net, dalam Maktabah Syamilah, Juz 23, h. 5.
[10] Abdurrauf Zainuddin Muhammad bin Taj al-Arifin bin Ali bin Zainal Abidin al-haddadi, at-Taisir bi Syarh al-Jami’ as-Shagir, Juz 2, Riyadl: Maktabah al-Imam as-Syafi’i, Cet: 3, 1988, h. 336.
[11] Abdul Muhsin bin Hamid bin Abdul Muhsin bin Abdullah bin Hamid al-Ibbad al-Badr, Syarh Sunan Abi Dawud, Pelajaran audio yang diunggah oleh situs web http://www.islamweb.net, dalam Maktabah Syamilah, Juz 175, h. 24.
[12] Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dalam Kitab Adab, Imam Muslin dalam Kitab az-Zikr ad-Du’a’, Bab Fadl Ijtima’ ‘ala Tilawat al-Qur’an wa ‘ala az-Zikr, dan Ibnu Majah, dalam Muqaddimah, Bab Fadl al-‘Ulama’. Lihat, Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad Badruddin al-‘Aini, Syarh Sunan Abi Dawud, Juz 5, Riyadl: Maktabah ar-Rusyd, Cet: 1, 1999, h. 368.
[13] Sayyid Bakr al Makki bin Sayyid Muhammad Syatha’ ad-Dimyathi, Kifayat al-Atqiya’ wa Minhaj al-Ashfiya’, Surabaya: al-Haramain, t.th., h. 50.
[14] Kementrian Urusan Agama Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 436.
[15] Abu al-Fida Isma’il bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim: Tafsir Ibnu Katsir, Juz 5, Riyadl: Dar Thayyibah li an-Nasr wa at-Tauzi’, Cet. 2, 1999, h. 103.
[16] Kementrian Urusan Agama Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 855.
[17] Lihat, Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Syuyuthi, Tafsir Jalalain, Cairo: Dar al-Hadits, Cet. 1, t.th, h. 692. Lihat juga, Abu al-Fida’ Isma’il bin Umar Ibn Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Juz 7, h. 409. Lihat juga, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Syamsuddin al-Qurthuby, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an: Tafsir al-Qurthuby, Juz 17, Cairo: Dar al-Kutub al-Mushriyyah, Cet. 2, 1964, h. 24.
[18] Isma’il Haqqi bin Musthafa al-Istanbuli al-Burusawi, Ruh al-Bayan, juz 9, h. 140.
[19] Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhori, Shahih Bukhori, Juz 2, Beirut: Dar Thauq an-Najah, Cet. 1, 1422 H, h. 52. Lihat juga, Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Hasan al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, Juz 1, Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Araby, t.th, h. 538.
[20] Abu al-Hasan Ali bin Khalaf bin Abdul Malik Ibnu Bathal, Syarh Shahih al-Bukhari, Juz 3, Riyadl: Maktabah ar-Rusyd, 2003, h. 134.
[21] Sayyid Bakr al Makki, Kifayat al-Atqiya’, h. 50.
[22] Kementrian Urusan Agama Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 448.
[23] Abu al-Fida’ Isma’il bin Umar Ibn Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Juz 5, h. 152. Lihat juga, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir at-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, Juz 18, Beirut: Muassasah ar-Risalah, Cet. 1, 2000, h. 5.
[24] Yang dimaksud dengan sifulan ialah orang yang telah menyesatkannya di dunia. Lihat, Kementrian Urusan Agama Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 563.
[25] Sayyid Bakr al Makki, Kifayat al-Atqiya’, h. 51.
[26] Kementrian Urusan Agama Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 44.
[27] Lihat misalnya, Jalaluddin al-Mahally dan Jalaluddin as-Syuyuthi, Tafsir Jalalain, h. 37., Isma’il Haqqi bin Musthafa al-Istanbuli al-Burusawi, Ruh al-Bayan, juz 1, h. 289., Abu Zaid Abdurrahman Muhammad ats-Tsa’alabi, al-Jawahir al-Hasan fi Tafsir al-Qur’an: Tafsir ats-Tsa’alabi, juz 1, Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-Arabi, Cet.1, 1418 H,h. 373., Abu al-Fida’ Isma’il bin Umar Ibn Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Juz 1, h. 497.
[28] Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Hasan al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, Juz 2, h. 1019.
[29] Ali bin Sulltan Muhammad al-Qari, Mirqah al-Mafatih Syarh Miskah al-Masabih, Juz 2, Beirut: Dar al-Fikr, Cet. 1, 2002, h. 607.
[30] Sayyid Bakr al Makki, Kifayat al-Atqiya’, h. 51.
[31] Kementrian Urusan Agama Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 399.
[32] Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Gaib: at-Tafsir al-Kabir, Juz 19, Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Araby, Cet. 3, 1420 H, h. 165.
[33] Ibnu Majah Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, Juz 2, h. 1245.
[34] Ibnu Majah Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, Juz 2, h. 1245.
[35] Kementrian Urusan Agama Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 869.
[36] Lihat, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir at-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, Juz 22, h. 489-490. Lihat juga, Jalaluddin al-Mahally dan Jalaluddin as-Syuyuthi, Tafsir Jalalain, h. 700.
[37] Sayyid Bakr al Makki, Kifayat al-Atqiya’, h. 50-51.
[38] Muhammad Nawawi al-Bantani al-Jawi, Salalim al-Fudlala’, yang tercantum dalam hamisy (luar garis tepi) kitab Kifayat al-Atqiya’ wa Minhaj al-Ashfiya’, Surabaya: al-Haramain, T.th., h. 50
[39] Sayyid Bakr al Makki, Kifayat al-Atqiya’, h. 50.