Ayat-Ayat Anjuran Untuk Berkumpul Bersama Orang-Orang Sholih


Surah at-Taubah/9:119.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ (119)

Terjemahnya:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar”.[1]

Ayat tersebut merupakan perintah Allah kepada orang-orang mukmin untuk bertakwa kepada Allah, dan memperhatikan serta melaksanakan kewajiban-kewajiban, dan perintah agar membersamai orang-orang yang benar, yakni orang-orang yang senantiasa menjaga ketakwaan kepada Allah di dunia, yang orang-orang tersebut tentunya akan selamat di akhirat. Dalam ayat tersebut, orang-orang mukmin dianjurkan untuk berkumpul dan membersamai orang-orang yang senantiasa bertakwa kepada Allah, yakni orang-orang shalih, dan anjuran untuk menjauhi orang-orang munafik ataupun orang-orang fasik. Karena orang-orang munafik tidak akan memberikan manfa’at kepada orang-orang mukmin.[2]

Surah al-Kahfi/18:28.

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا (28)

Terjemahnya:

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas”.[3]

Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk bersabar dan duduk bersama orang-orang yang senantiasa berdzikir kepada Allah, yang mereka senantiasa meng-Esa-kan Allah, memuji Allah, mesucikan Allah, mengagungkan Allah, dan selalu meminta kepada Allah kapanpun dengan beribadah, dan melakukan amal shalih, yakni dengan menjalankan shalat yang wajib maupun amal shalih lainnya. Dengan amal baik yang mereka lakukan, mereka hanya mengaharap kebaikan dari Allah, dan tidak mengharapkan kekusahan dunia. Meraka semua derajadnya sama di mata Allah, walaupun mereka orang fakir, kaya, kuat, maupun lemah.[4]

Surah al-Furqan/25:27-29.

وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا (27) يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا (28) لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْإِنْسَانِ خَذُولًا (29)

Terjemahnya:

“Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya seraya berkata: “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul”. Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan sifulan[5] itu teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari al-Qur’an ketika al-Qur’an itu telah datang kepadaku. Dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia”.

Ayat tersebut menceritakan seorang yang menyesal karena salah dalam hal memilih teman. Dulunya si Fulan yang diceritakan dalam ayat tersebut memilih teman yang membawa dia kepada kesesatan dan menjauhi keyakinan atas al-Qur’an. Hingga kemudian ia sadar akan kesesatannya, dan menyesali perbuatannya. Dalam ayat tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa yang disebut orang dzalim dalam ayat tersebut yaitu Uqbah bin Abi Mu’ith, dan yang di maksud dengan si Fulan yaitu Ubay bin Khalaf.[6]

 

Sumber:
[1] Kementrian Urusan Agama Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 301.
[2] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir at-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, Juz 14, h. 558.
[3] Kementrian Urusan Agama Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 448.
[4] Abu al-Fida’ Isma’il bin Umar Ibn Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Juz 5, h. 152. Lihat juga, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir at-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, Juz 18, h. 5.
[5] Yang dimaksud dengan sifulan ialah orang yang telah menyesatkannya di dunia. Lihat, Kementrian Urusan Agama Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 563.
[6] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir at-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, Juz 19, h. 262.