Ayat Al-Qur’an Tentang Anjuran Mendirikan Sholat Malam (Qiyamullail)


Surah al-Isra’/17:79.

وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا (79)

Terjemahnya:

“Dan pada sebahagian malam hari ber sembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji”.[1]

Sebelum ayat tersebut, yakni ayat 78 surah al-Isra’, disebutkan perintah untuk mendirikan shalat dari pagi hingga petang, yaitu shalat maktubah. Kemudian dalam ayat 79 surah al-Isra’ tersebut, Allah memerintahkan untuk shalat malam/ shalat tahajjud, yang mana shalat tahajjud merupakan shalat yang paling utama setelah shalat maktubah.[2] Hingga kemudian shalat tahajjud menjadi syari’at yang disunnahkan. Shalat tahajjud dalam ayat tersebut juga merupakan ibadah tambahan, agar manusia yang senantiasa menjalankannya mendapatkan tempat/ derajad yang tinggi di sisi Allah.

Surah al-Furqan/25:64.

والَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا (64)

Terjemahnya:

“Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka”.[3]

Ayat tersebut menjelaskan sifat-sifat orang Abid, atau hamba-hamba Allah yang ta’at. Dalam ayat sebelumnya dikatakan bahwa sifat-sifat ‘ibad ar-rahman yaitu orang-orang yang berjalan diatas bumi dengan rendah hati, maksudnya yaitu dengan tenang dan tawadlu’, dan ketika orang-orang jahil/ fasik menyapa mereka, mereka akan senantiasa mengucapkan kata-kata yang baik kepada orang-orang fasik tersebut. Dan di antara sifat ‘ibad ar-rahman yang lainnya yaitu orang-orang yang senantiasa terjaga di malam hari untuk mendirikan shalat qiyamullail atau shalat tahajjud.[4]

Surah as-Sajdah/32:16.

تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (16)

Terjemahnya:

“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya[5] sedang mereka berdo’a kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka”.

Ayat tersebut merupakan lanjutan ayat sebelumnya, yang dikatakan bahwa orang-orang yang bener-benar beriman kepada ayat-ayat al-Qur’an yaitu orang-orang yang apabila diperingatkan/dinasehati dengan ayat al-Qur’an tersebut, maka akan bersujud, dengan bertasbih dan memuji Allah, dan mereka bukanlah orang-orang yang sombong. Kemudian dilanjutkan ayat 16 tersebut, yakni orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat al-Qur’an akan senantiasa menjauhkan lambung mereka dari tempat tidur, maksudnya yaitu terjaga ketika malam dengan beribadah, berdo’a kepada Allah, mereka juga senantiasa berzakat, berinfak, dan juga bersedekah atas sebagian rizki mereka yang telah Allah berikan. Menurut al-Qurthubi, terdapat dua pendapat mengenai penafsiran lambung yang jauh dari tempat tidur. Pertama, berdzikir kepada Allah, baik dalam shalat, maupun diluar shalat, dan kedua, yaitu shalat.[6]

Surah az-Zumar/39:9.

أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ (9)

Terjemahnya:

“Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung? ataukah orang yang beribadah di waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah “adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”.[7]

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa orang-orang musyrik tidaklah lebih beruntung daripada orang-orang ahli ibadah, yaitu orang-orang yang senantiasa beribadah di waktu malam dengan shalat, dzikir, dan mereka takut akan adzab akhirat, dan mereka juga hanya berharap surga dan rahmat dari Allah. Ayat tersebut juga menjelaskan bahwa orang-orang yang mempunyai akal yang dapat menerima pelajaran dari al-Qur’an, dan berbeda dengan orang-orang yang tidak mengetahui, yakni orang-orang musyrik.

Surah Qaf/50:40.

وَمِنَ اللَّيْلِ فَسَبِّحْهُ وَأَدْبَارَ السُّجُودِ (40)

Terjemahnya:

“Dan bertasbihlah kamu kepada-Nya di malam hari dan setiap selesai sembahyang”.[8]

Terdapat dua penafsiran yang relevan dengan ayat tersebut, yakni mengenai waktu shalat. Dalam ayat sebelum ayat tersebut, Allah memerintahkan kepada Nabi SAW dan para orang Mukmin untuk senantiasa bersabar atas ucapan-ucapan dan fitnah-fitnah yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani, kemudian Allah memerintahkan untuk senantiasa bertasbih dengan memuji Allah dari sebelum terbitnya matahari hingga sebelum terbenamnya matahari, dan di sebagian malam. Pendapat pertama mengatakan bahwa maksudnya yaitu Allah memerintahkan Nabi SAW dan Umat Islam untuk senantiasa berdzikir pada waktu-waktu tersebut. Sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa waktu-waktu tersebut dinisbatkan pada waktu shalat subuh pada sebelum terbitnya matahari, shalat dzuhur dan ashar sebelum terbenamnya matahari, dan pada sebagian malam maksudnya yaitu shalat maghrib dan Isya’.[9] Adapun al-Burusawi menambahi penafsiran dengan qiyamullail di sebagian malam, karena malam adalah waktu yang sunyi, sehingga terasa nikmat untuk bermunajat di waktu tersebut. Dan disamping shalat maktubah dari sebelum matahari terbit hingga malam hari, juga ditambah dengan shalat sunnah seperti shalat rawatib.[10]

Surah al-Insan/76: 26.

وَمِنَ اللَّيْلِ فَاسْجُدْ لَهُ وَسَبِّحْهُ لَيْلًا طَوِيلًا (26)

Terjemahnya:

“Dan pada sebagian dari malam, maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepadanya pada bagian yang panjang di malam hari”.[11]

Maksud dari sujudlah pada sebagian malam dalam ayat tersebut yaitu perintah untuk mendirikan shalat maghrib dan isya’. Sedangkan bertasbih di waktu malam yang panjang maksudnya yaitu shalat tathawwu’ yang dapat dikerjakan di malam yang panjang, yakni pada sepertiga malam pertama, atau tengah malam, atau sepertiga malam terakhir.[12] Adapun pendapat lain mengatakan bahwa ayat tersebut adalah perintah kepada Nabi SAW dan umatnya untuk mendirikan shalat tahajjud. Ada juga yang mengatakan shalat tasbih atau shalat tahajjud dengan tasbih.[13]

 

Sumber:
[1] Kementrian Urusan Agama Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 436.
[2] Abu al-Fida’ Isma’il bin Umar Ibn Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Juz 5, h. 103.
[3] Maksudnya: orang-orang yang sembahyang tahajjud di malam hari semata-mata karena Allah. Lihat, Kementrian Urusan Agama Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 568.
[4] Jalaluddin al-Mahally dan Jalaluddin as-Syuyuthi, Tafsir Jalalain, h. 478.
[5] Maksudnya: mereka tidak tidur di waktu biasanya orang tidur, untuk mengerjakan sembahyang malam. Lihat: Kementrian Urusan Agama Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 662.
[6] Abu Abdillah Syamsuddin al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthuby, Juz 14, h. 100.
[7] Kementrian Urusan Agama Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 747.
[8] Kementrian Urusan Agama Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 855.
[9] Lihat, Jalaluddin al-Mahally dan Jalaluddin as-Syuyuthi, Tafsir Jalalain, h. 692. Lihat juga, Abu al-Fida’ Isma’il bin Umar Ibn Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Juz 7, h. 409. Lihat juga, Abu Abdillah Syamsuddin al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthuby, Juz 17, h. 24.
[10] Isma’il Haqqi bin Musthafa al-Istanbuli al-Burusawi, Ruh al-Bayan, juz 9, h. 140.
[11] Kementrian Urusan Agama Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 1005.
[12] Jalaluddin al-Mahally dan Jalaluddin as-Syuyuthi, Tafsir Jalalain, h. 783.
[13] Isma’il Haqqi bin Musthafa al-Istanbuli al-Burusawi, Ruh al-Bayan, juz 10, h. 278.