Ayat Al-Qur’an tentang Anjuran Membaca Al-Qur’an dengan Bertadabbur atas Maknanya


Surah an-Nisa’/4:82.

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا (82)

Terjemahnya:

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”.[1]

Ayat tersebut merupakan bantahan terhadap orang yang menganggap al-Qur’an bukan kalam Allah. Dalam ayat tersebut diawali dengan kalimat pertanyaan dengan hamzah istifham yang berfaedah inkari, Apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Maksudnya yaitu apakah orang-orang munafik itu tidak memperhatikan kalam Allah? Maksud dari kata tadabbur yaitu, melihat dengan memperhatikan sebab-sebab dan akibat, dan juga memperhatikan iterpretasi dari setiap ayat-ayatnya. Apabila orang-orang munafik itu memperhatikan dan menghayati kalam Allah dengan seksama, tentulah mereka akan melihat bukti-bukti kebenaran al-Qur’an, dan mereka akan menemukan tanda-tanda kebenaran. Dan jikalau al-Qur’an adalah karangan manusia, maka di dalamnya akan ditemukan kekurang-kekurangan kalam manusia, dan akan ditemukan kontradiksi-kontradiksi sebagaimana kalam manusia semestinya. Akan tetapi al-Qur’an jauh lebih sempurna dari kalam-kalam manusia. Dan al-Qur’an itu meliputi segala sesuatu yang mensucikannya.[2]

Surah al-Mu’minun/23:68.

أَفَلَمْ يَدَّبَّرُوا الْقَوْلَ أَمْ جَاءَهُمْ مَا لَمْ يَأْتِ آبَاءَهُمُ الْأَوَّلِينَ (68)

Terjemahnya:

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan perkataan (Kami), atau apakah telah datang kepada mereka apa yang tidak pernah datang kepada nenek moyang mereka dahulu?”[3]

Ayat tersebut juga merupakan pengingkaran atas orang-orang munafik yang tidak percaya dengan kebenaran al-Qur’an sebagaimana dalam an-Nisa’/4 ayat 82. Dalam ayat ini disebutkan, apakah mereka tidak memperhatikan perkataan kami, yaitu al-Qur’an? Dan lafadz “am” dalam ayat tersebut bermakna “bal” yang artinya, “akan tetapi telah datang kepada mereka apa yang tidak datang kepada nenek moyang mereka,” yakni kitab-kitab sebelum al-Qur’an. Sehingga mereka mengingkari al-Qur’an dan menolak untuk memperhatikan al-Qur’an dengan seksama.[4]

Surah al-Ankabut/29:45.

اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ (45)

Terjemahnya:

“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari keji dan mungkar. Dan sungguh mengingat Allah lebih besar. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”.[5]

Ayat tersebut merupakan perintah Allah kepada Rasulnya dan umat Islam untuk senantiasa membaca al-Qur’an dengan tekun, dan menyampaikan/ mengajarkannya kepada manusia. Selain itu ayat tersebut juga sebagai perintah untuk mendirikan shalat sebagai syari’at. Dan dijelaskan dalam ayat tersebut bahwa shalat dapat mencegah manusia dari perbuatan keji dan munkar.[6]

 

Surah Fathir/35:29-30.

إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ (29) لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ (30)

Terjemahnya:

“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi. Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha mensyukuri”.[7]

Ayat ini menerangkan fadlilah membaca al-Qur’an. Dalam ayat tersebut Allah mengabarkan tentang ibadah-ibadah orang Mukmin, yakni membaca al-Qur’an dengan mengimani dan mengamalkannya, mendirikan shalat, dan menginfaqkan hartaya, sebagaimana Allah memberikan mereka rizki yang melimpah di waktu siang maupun malam, secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Mereka hanya mengharapkan ganjaran dari Allah yang secara pasti akan diberikan Allah kepadanya, dari ikhtiar mereka dengan berniaga.[8]

 

Surah Shad/38:29

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ (29)

Terjemahnya:

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran”.[9]

 

Ayat tersebut merupakan dalil bahwa al-Qur’an diturunkan Allah untuk manusia agar mereka membacanya dengan bertadabbur maknanya menggunakan akal sehat, dan agar manusia mengetahui makna-makna dalam al-Qur’an baik makna dzohir maupun makna yang jauh dan membutuhkan interpretasi. Bertadabbur berarti diibaratkan seperti membaca dengan memperhatikan konsekuensi-konsekuensi yang penting, sedangkan bertafakkur merupakan tindakan dari hati untuk merenungi makna-makna yang dimaksud, dan untuk mewujudkan apa yang diinginkan.[10]

Surah Muhammad/47:24.

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا (24)

Terjemahnya:

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?”[11]

Maksud dari ayat tersebut yaitu, apakah mereka orang-orang munafik tidak membaca, dan menghayati al-Qur’an beserta apa yang ada di dalam al-Qur’an, yakni nasihat dan larangan, agar mereka tidak terjerumus ke dalam dosa yang membawa malapetaka? Ataukah hati mereka terkunci sehingga tidak ingin membaca, dan menghayati makna-makna yang terkandung dalam al-Qur’an? Dan jikalau mereka membaca al-Qur’an, mereka tetap tidak dapat terbuka hatinya?[12] Ayat tersebut dapat dipahami sebagai perintah untuk membaca al-Qur’an dengan bertadabbur, dan mengangan-angan maknanya, agar terhindar dari perbuatan yang dapat membawa mafsadah atau kerugian, dan agar hati tidak terkunci serta merasa tenang.

Sumber:

[1] Kementrian Urusan Agama Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 132.
[2] Abu Zaid Abdurrahman Muhammad ats-Tsa’alabi, al-Jawahir al-Hisan fi Tafsir al-Qur’an: Tafsir ats-Tsa’alabi, juz 2, Beirut: Dar Ihya’ at-Turas al-Arabi, Cet.1, 1418 H, h. 268.
[3] Kementrian Urusan Agama Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 534.
[4] Abu Abdillah Syamsuddin al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthuby, Juz 12, h. 139.
[5] Kementrian Urusan Agama Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 635.
[6] Lihat, Abu al-Fida’ Isma’il bin Umar Ibn Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Juz 6, h. 280. Lihat juga, Abu Abdillah Syamsuddin al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthuby, Juz 13, h. 347.
[7] Kementrian Urusan Agama Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 700.
[8] Abu al-Fida’ Isma’il bin Umar Ibn Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Juz 6, h. 545.
[9] Kementrian Urusan Agama Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 736.
[10] Isma’il Haqqi bin Musthafa al-Istanbuli al-Burusawi, Ruh al-Bayan, juz 8, h. 25.
[11] Kementrian Urusan Agama Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 833.
[12] Isma’il Haqqi bin Musthafa al-Istanbuli al-Burusawi, Ruh al-Bayan, juz 8, h. 518.