Hadis 8- Menyempurnakan Wudhu


وَعَنْ لَقِيطِ بْنُ صَبِرَةَ, – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم –

– أَسْبِغْ اَلْوُضُوءَ, وَخَلِّلْ بَيْنَ اَلْأَصَابِعِ, وَبَالِغْ فِي اَلِاسْتِنْشَاقِ, إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا

– أَخْرَجَهُ اَلْأَرْبَعَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَة َ

وَلِأَبِي دَاوُدَ فِي رِوَايَةٍ:

– إِذَا تَوَضَّأْتَ فَمَضْمِضْ

Dari Laqith bin Shabirah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Sempurnakanlah wudhu, selingilah sela-sela jarimu, dan masukkan air ke dalam hidungmu dengan sungguh-sungguh kecuali jika engkau dalam keadaan berpuasa.”

(Dikeluarkan oleh imam yang empat, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah. Dikeluarkan pula oleh Abu Daud, riwayatnya: jika engkau berwudhu, maka berkumur-kumurlah)

[HR. Abu Daud, no. 142; Tirmidzi, no. 38; An-Nasai, 1:66; Ibnu Majah, no. 448; Ibnu Khuzaimah, 150, 168. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini sahih, disahihkan pula oleh Ibnu Al-Qaththan. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:175]

Faedah hadits

  1. Asbighil wudhu (menyempurnakan wudhu) ada dalam dua bentuk: (a) wajib, yaitu menyempurnakan yang wajib dibasuh; (b) sunnah, yaitu menyempurnakan wudhu lebih dari kadar wajib, misal membasuh dua atau tiga kali.
  2. Menyela-nyela jari dihukumi sunnah menurut jumhur (kebanyakan) ulama, bukanlah wajib. Namun, jika air sudah sampai pada sela-sela jari tanpa digosok-gosok, sudah sah. Akan tetapi, jika tidak sampai pada sela-sela jari selain dengan cara menggosok-gosok (menyela-nyela), hukumnya menjadi wajib. Dalam ayat hanya diperintahkan untuk mencuci.
  3. Diperintahkan untuk sungguh-sungguh saat menghirup air ke hidung kecuali kalau dalam keadaan berpuasa karena dikhawatirkan air bisa masuk dari hidung ke dalam sehingga merusak puasa.
  4. Para ulama menyamakan memasukkan air ke hidung dengan berkumur-kumur, berarti kita diperintahkan pula untuk berkumur-kumur dengan sungguh-sungguh kecuali saat berpuasa.
  5. Berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung, hukumnya sunnah (bukan wajib). Siapa yang meninggalkannya, wudhunya tetap sah. Inilah pendapat Imam Malik, Syafii, salah satu pendapat dari Imam Ahmad, dan dipilih oleh Ibnul Mundzir.
  6. Para ulama berdalil dengan hadits ini adanya kaedah “sadd adz-dzaroi’” yaitu mencegah hal mubah menuju suatu yang diharamkan. Karena Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berlebih-lebihan saat istinsyaq (memasukkan air ke hidung). Berlebih-lebihan di sini dapat merusak puasa, maka terlarang.
  7. Dari hadits ini juga kita simpulkan kaedah “dar-ul mafasid awla min jalbil mashaalih” yaitu mencegah kerusakan lebih utama dari meraih maslahat. Bersungguh-sungguh saat istinsyaq itu suatu maslahat. Namun, jadi bermasalah jika hal itu dilakukan saat berpuasa. Maka berlebih-lebihan ini dilarang. Maslahat ini ditinggalkan, tetap istinsyaq saat berpuasa, tetapi tidak berlebihan.